Recent twitter entries...

Rabu, 31 Desember 2014

Bulanku, Bulan Kita



Selene looked for is own, she was confused. “where is it? Where is...?? Iplaced it there, right there, beside the earth!” then she saw 500,000 kilo metres away, there was alight. She said “that love has brought my lovely moon” and that’s when you gave a moon to light my nights and made my days..

Jam lima tepat. Sedikit remang di pandangan ku. Dunia terasa gelap, masih belum ada surya memancar. Kakiku beku, terpancar AC tepat di telapak. Aku semakin menarik selimutku dan benda hangat ini tersangkut, ada yang menarik kembal.  Kuterka dengan pandangan setengah sadar, ada siluet wanita disana. Aku semakin menarik selimutku dan dia balik menarik. Apa-apaan ?! Suara lembut wanita itu mulai terdengar. Lirih karena aku masih belum genap. Aku seperti kenal suara itu. Oh, itu mama.
“ayo bangun, hari ni kamu ujian
“hmm?” Beliau menarik selimutku dan melipatnya. Aku kedinginan, aku beranjak.

Aku siap sekolah! Aku bahagia hari ini. Hari ini ujian tengah semester, soal-soal bikinan guruku mungkin akan mudah seperti dahulu. Aku bahagia karena hari ini aku tidak akan bosan dan jenuh mendengar buntalan materi dari guru-guru hebatku. Selain itu, hari ini aku akan duduk di belakang Nafis, seorang temanku yang murah hati memberi jawaban, dan aku juga murah hati membagi jawaban dengannya. Aku sudah dua tahun satu kelas dengan dia. Dia tinggal jauh dari sekolahku, dia naik kendaraan umum setiap harinya. Dia kurus, susah gendut. Tapi dia tinggi, dan semakin meninggi, tapi normal untuk ukuran remaja cowok. Dia rapi, berwajah proporsional, dan jahil.

Ujian itu berlangsung cepat, karena aku menikmati setiap menit darinya. Dan tahun ini berlalu, meninggalkan gurat manis dan jengkel semacam cerita remaja. Aku senang di tahun ini bisa berkunjung ke Bali dengan teman-teman seangkatan, jengkel karena Nafis yang kulempar spidol dan penghapus papan, bahagia karena cinta monyet yang sempat datang. Dan Nafis melewatkan ini dengan satu perempuan cantik dan cerdas, sedangkan aku melewatkannya dengan dua laki-laki unik yang berkarakter bagai bibir dan sikut-tak bisa bertemu-. Mereka membuat drama dan realita yang memberiku pengalaman yang tak akan terulang lagi. Tapi Nafis.. ah Nafis.. aku pernah suatu ketika menatapnya dalam, tepat di kedua bola matanya yang damai... Lalu dia balik menatapku dengan mata lucunya... Kami terdiam beberapa detik, dan kami hanyut dalam senyuman...

Kau seperti air yang dapat kusentuh, dapat kurasakan, tapi tak pernah bisa kugenggam

Entah dimulai dari mana, Nafis dan aku semakin dekat, kian dekat, hingga aku dapat merasakan panasnya. Saat itu akhir tahun dan mendekati ujian nasional. Kami belajar bersama, berbagi ilmu bersama. Dia cerdas dalam hitungan, aku cerdas dalam bahasa. Kami bertukar pikiran, bertukar ilmu, dan sekaligus membangun kepercayaan secara implisit. Aku mulai merasa nyaman dan damai di dekat Nafis, mendengar suaranya, mencium harum dan merasakan hangat tubuhnya. Aku hafal bagaimana nadanya saat mengucap namaku, aku hafal bagaimana dan berapa sering dia berkedip. Bulu matanya tebal, membuat matanya terlihat menawan. Bibirnya tipis, dan telinganya yang membuat aku selalu ingin tersenyum. Seperti telinga gajah. Dulu aku berfikir tak akan mungkin aku bisa sedekat ini. Kami melewatkan 11 April bersama. Hari ulang tahun Nafis. Aku senang bisa merayakannya sebagai lebih dari sekedar teman biasa. Kami lebih dekat, dan semakin dekat.

Saat itu, seiring yakinnya aku dengan dia, kami bercerita tentang semua yang selama ini telah kami simpan. Kami sama-sama kagum. Tapi saat dia punya, tentu dia sangat sayang kepunyaannya, begitu juga aku. Tapi semua kalang kabut dan selalu kandas. Dia menungguku sendiri, dan dia jatuh cinta tanpa sengaja. Saat aku sendiri, dia masih hanyut dalam cerita dengan perempuan cantik dan cerdas itu. Saat dia sendiri, giliran aku yang menyamankan diri pada kehidupan seseorang. Dulu, aku ingin menyentuhnya, hanya sekedar tahu dia sedang apa, tapi tidak mungkin karena aku tidak akan pernah memulai duluan. Kemudian dia mulai mendekat tapi aku sempat ragu, karena aku tidak berani semua berakhir sama, dan aku yakin semua akan berakhir sama.

Aku merasakan keindahan, meskipun ada beberapa gangguan. Itu yang membuatku sempat berfikir untuk mundur. Tapi Nafis meyakinkanku, dan saat itu aku mulai bisa merasakan ketulusannya. Tapi dia juga sudah membuat keputusan untuk melanjutkan sekolah di luar kota. Yang pastinya akan memberi jarak untuk bertemu. Sementara aku tidak begitu suka jika hanya berkomunikasi melalui telfon atau pesan singkat. Aku tidak akan pernah tega menyuruhnya jauh-jauh dari Gresik-Sekaran-Lamongan hanya untuk menemuiku. Dia pasti lelah, dan aku akan selalu menyalahkan diriku jika dia lelah karena aku.

Nafis sempat menyatakan -itu- tapi sepertinya terlalu singkat meskipun kami sudah lama mengenal satu sama lain. Dan kisah ini berakhir dengan pengacuhanku. Aku membiarkan Nafis lelah dalam perjuangannya untuk aku, sementara aku tak merespon. Dan aku sampai sekarang menyalahkan diriku karena telah membuat dia lelah berjuang. Beberapa purnama telah kami lewati bersama, dan aku selalu ingat Nafis setiap aku melihat bulan purnama. Dalam beberapa malam lalu, aku sempat ber-angan untuk membalik semuanya dan memulai dari awal. Jika bisa memilih, aku ingin kembali di saat Nafis duduk 4 meter dariku, segaris lurus di depanku. Disitu aku menatapnya dalam, tepat di kedua bola matanya yang indah, lalu Nafis balas menatapku, dan kami hanyut dalam senyuman.

Manusia tak pernah bisa kembali ke masa lalu, dan merubah segalanya. Tapi satu kata maaf hari ini, bisa merubah segalanya di masa depan.

Cerpen Karya Shela Rizky Tarinda
Saya seorang pembaca dan penulis amatiran. Saya cinta menulis.
follow twitter @shelrt or add me on facebook Shela Rizky Tarinda. Visit my blog tarindaaa.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar