Rabu, 18 Februari 2015
Sinar di Matamu
“Saskia… tungguin!”. Kudengar suara sahabatku memanggil. Ku berbalik dan melihatnya, benar memang itu suaranya. Laki-laki dengan wajah tampan, tapi sungguh demi segala yang pernah menginjak bulan aku sangat muak melihatnya. Dengan wajahnya yang tampan, dia belum tentu sama seperti yang digambarkan di dalam novel. Dia sangat jauh dari sebuah kesempurnaan. Jorok, itu adalah sebuah kata yang selalu kudengar dari banyak orang yang mendefinisikannya. Rambutnya gondrong yang jarang keramas dan jarang pula disisir, mungkin sudah jadi peternakan sekarang. Dia sering mandi, tapi bajunya itu loh gak pernah dicuci. Entar kalo dia udah malas pake pasti dia buang juga ke tong sampah, dia kan banyak uang. Celana jinsnya sengaja dirobek sana-sini yang mirip preman pasar, ugggh aku benci melihatnya. “Gembel” itulah panggilan kesayanganku padanya, walaupun kutahu dia anak orang kaya. Dan dengan senang hati dia akan memanggilku Gembrot, padahal aku sudah sangatlah kurus. Aku menatapnya jijik, dan mataku seolah berkata “Cepetan!!! kamu udah ganti baju belom? kenapa sih celana sama sepatu kamu dekil gitu? aduh kapan tuh rambut bisa dirapiin sendiri? jorok banget” aduh memikirkannya saja sudah muak setengah mampus. Dan akhirnya aku hanya berkata “cepetan..” dengan suara yang gak bentak-bentak plus lembut banget. Dia menghampiriku dan mengambil tanganku lalu seolah aku ini ibunya dia menaruh tanganku di jidatnya. Reseh!!!
Aku Saskia, seorang mahasiswi di ITB jurusan arsitektur dan sekarang sudah tahun kedua alias semester empat. Aku sangat menjunjung tinggi kerapian dan kebersihan. Tidak suka yang berlebel jorok. Kalau soal Boy itu lain halnya, dia memang sengaja mengikutiku selalu dan kuyakin menaruh perasaan lebih padaku. Dan sialnya aku sekelas dengannya di kampus, yang mau tak mau selalu bertemu dengannya dan yang paling sial dia selalu sekelompok denganku. Balik lagi ke aku, aku selalu berprinsip, bersih itu sebagian dari iman, hehehe. Dari SMA sampai sekarang aku selalu mempunyai tipe laki-laki idamanku itu harus Bersih, rapi, pintar, baik dan tulus. Sungguh sempurna, tentu saja ini bukan hanya gagasanku sendiri namun bersama Tari sahabatku dan mungkin seluruh wanita di dunia, mungkin. Kalau bisa dokter dan direktur yang masih muda, pikirku dari dulu. Karena kuyakin yang punya semua itu hanya dokter dan direktur.
“Sas.. entar malam ada acara?” tanya tari. “gak ada.. kenapa?”. “ya enggak, bukan aku yang nanya. Tuh si gembel yang nanya” serunya. Kutulis sesuatu di buku catatanku dan menyerahkannya pada tari “kamu gila ya, tau gak aku malas jalan sama cowok jorok”. “dianya maksa sih, tadi aku juga gak mau nanya tapi dianya ngancam” katanya sambil berteriak. Aku melihat ke belakang mencari-cari sosok si boy gembel. “kok dianya gak ada?” tanyaku pada tari. “aku disini gembrot” ku berbalik dan dia sudah ada di depan wajahku dekat pula. “ih minggir…” kataku ketus. “jadi ntar malam kan, aku jemput jam enam biar otak segeran dikit. Gak ada tapi-tapian pokoknya aku jemput. Bye…” katanya sambil berlalu. Aku hanya bengong-bengong heran. “Tuh anak sarap kali ya, belum nanya aku mau pergi apa gak.. eh udah nyerocos kaya kereta api”. “trima nasib aja deh sas.. dia naksir lo udah dua tahun. Dia ganteng kok, tinggal dipoles mentega dikit pasti enak kok. Kan kalo pacaran sama kamu, dia pasti berubah tuh. Emangnya gak sayang tuh kalo cewek lain yang bakalan ngerubah dia. Entar nyesel lagi.. trus nangis lagi deh kaya dulu.. waktu kamu nangisin…”. belum sempat dia melanjutkan kata-katanya aku sudah marah duluan “udah deh tar, gak usah bawa-bawa masa lalu aku malas bahas yang kaya gituan lagi”. Kata-kata tari yang terakhir tadi memang membuatku sedih, sudah empat tahun aku tak juga bisa melupakan Harry. Mengingat sampai sekarang aku masih sangat mencintainya walaupun mengingat wajahnya saja sudah tidak. Namun namanya memang sudah terukir permanen di relung hatiku. Dan jujur saja setiap kali berdoa sebelum dan sesudah tidur, namanya sudah paten terucap dari mulutku. Hanya satu permohonanku agar dia selalu bahagia dimanapun dia berada.
“selamat sore tante..” aku mendengar suara boy dari dalam kamar, huh aku malas sekali pergi dengannya. “Saskia.. ada temen kamu nih nyariin”. “entar ma..” jawabku. Aku memang sudah mandi, tapi melihatku memakai piyama dengan rambut yang masih awut-awutan boy bengong di hadapanku, namun aku juga bengong melihatnya berpakaian rapi, pakai parfum lagi baunya maskulin banget. “ngapain?” cetusku. “kita kan mo jalan, tadi aku udah bilang kan di kampus” katanya memelas. “malas ahh, kita disini aja gimana.. nonton gitu ato cerita kek apa kek” jawabku malas. “Sas.. entar aku ceritain rahasia aku deh, please sekali ini aja. Mungkin abis ini kamu gak mau jalan sama aku lagi gak apa”. Kata-katanya membuatku luluh, dan kubiarkan dia menunggu sampai sejam. Aku ingin membuatnya bosan, tapi ternyata dia sedang asik bercerita dengan mamaku dan anjing kesayanganku juga sedang tidur di pangkuannya.
“yuk jalan, udah jam tujuh nih. Daag mama” kataku padanya dan juga mama. “daag tante, entar kita bagi-bagi resepnya ya tante. Daag boy” katanya sok akrab dengan mama dan anjingku juga diberi nama sembarangan lagi.
Ternyata dia membawaku di tepi pantai, sambil makan jagung bakar. Aku teringat janjinya di rumah tadi. “oh ya boy.. tadi katanya kamu mau ceritain rahasia. Apaan?” kataku transparan. Dia diam saja, huh menyebalkan. Aku membiarkannya diam dan mengambil handphoneku tak kupedulikan lagi kehadirannya di sampingku. Sebuah pesan masuk “Sas. Bisa gak kamu merhatiin aku, kalau aku diam tanya kek”. Aku menatapnya, dan dia membalas tatapanku. Tatapannya teduh tidak seperti biasanya dan walaupun tidak begitu terang aku bisa melihat airmatanya. “what’s wrong?” tanyaku. Dia lalu menunduk “apakah kau tahu aku adalah anak dari keluarga yang broken home?” aku menggeleng. “dulu aku punya keluarga yang lengkap, aku adalah anak tunggal. Ayah dan ibuku seorang dokter. Aku sangat bahagia walaupun aku juga kesepian. Waktu itu aku sedang berjalan-jalan di rumah sakit tempat ayahku bekerja, dan aku melihat dia sedang memegang tangan seorang perawat dan bilang kalau sebentar lagi dia akan bercerai dengan ibuku. Aku berlari hendak bertemu dengan ibu dan aku terlambat, ibuku sudah tiada. Dia terkena serangan jantung, tak tahu apa penyebabnya. Saat itu ayahku menikah lagi, sampai sekarang aku selalu merasa ayah telah membunuh ibuku. Aku sudah tinggal terpisah dengan ayah sejak masuk SMA, aku sengaja melarikan diri. Dan saat lulus SMA aku dipaksa kuliah kedokteran, sungguh aku tak ingin mengambil jurusan itu. Saat itu aku ikut kakakku yang kuliah di kampus kita juga, aku tak berniat kuliah disitu namun saat itu memang ada yang ingin kukatakan padanya. Dia menjadi panitia penerimaan mahasiswa baru, kau mendaftar saat itu. Disitulah pertama kali aku melihatmu dan memutuskan agar kuliah di tempat yang sama denganmu. Aku juga tak mengerti, namun aku sangat ingin mencintaimu” katanya panjang lebar dan kulihat ada sebuah sinar di matanya saat dia bilang dia mencintaiku. “apakah kau bermaksud menembakku?” kataku bercanda. “untuk apa aku menembakmu, jelas aku sudah tau kau akan menolakku, bolehkah aku bertanya sesuatu? Mengapa kau selalu sendiri? apakah tak ada orang yang kau cintai?” katanya sambil menatapku. Raut mukaku langsung berubah menjadi dingin sedingin udara malam ini “aku tak mau membahas tentang itu”. “aku sudah menceritakan rahasiaku yang selalu kusimpan sendiri, kaulah yang pertama tahu. Apakah kau tidak ingin membaginya denganku?” melihat tak ada reaksi yang kukeluarkan akhirnya dia berkata “ya sudah, mungkin besok atau lusa atau beberapa tahun kemudian kau pasti bisa menceritakannya padaku”. Aku terus diam sampai dia mengantarkanku ke rumah. Dia memang tak bersalah, namun aku memang tak sanggup menjawab.
Beberapa minggu setelah kejadian malam itu, aku tak juga mau berbicara dengan boy. Aku juga tak tau kenapa. Dan berbeda dari biasanya, kali ini dia tidak berusaha mencari tahu tentang masalahku itu. Saat malam tiba, aku kaget melihat boy tiba-tiba datang di rumah membawa beberapa kantong berisi sayur-sayuran. “hai sas.. numpang masak ya”. Mama begitu menyukainya karena mereka punya hobby yang sama yaitu masak. Dan papa juga menyukainya karena mereka memang sama-sama pencinta sepak bola. Tapi aku tak peduli, aku asik-asik saja bermain dengan anjingku yang lucu. Papa membawakanku anjing itu saat dia pergi berlibur di china.
Setelah malam itu, aku tak lagi melihat batang hidung si gembel. Sudah sebulan tak kulihat dirinya. Mungkin berhenti kuliah atau cuti aku juga tak tahu. Namun karena dia sahabatku, ku sms saja dia “Gem, dimana?” dan dia membalas “aku udah pindah ke jakarta, mungkin bakal kuliah disini. bokap sakit”. Ternyata udah pindah di jakarta, setelah itu aku kehilangan kabarnya. Dia seperti hilang ditelan bumi. Namun kepergian boy tidak membuatku sedih, setelah dia pergi kursinya diganti oleh Harry. Sedih dan senang memang selalu satu paket, kata-kata itu kukutip dari sebuah film indonesia. Dia harry, cinta pertamaku. Sangat sulit awalnya bagiku, namun lama kelamaan aku sudah terbiasa. Dia tak banyak berubah, masih seperti harry yang dulu. Bedanya sekarang bukan aku yang mengejar-ngejarnya, tapi sebaliknya. Aku ingat dulu aku begitu mencintainya, namun ternyata dia berpacaran juga dengan sepupuku. Tapi dulu memang dia tak tahu aku menyukainya. Seandainya sekarang boy ada disini, pasti pertanyaannya dulu sudah kujawab.
Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan dan tahun berganti tahun. Sudah empat tahun aku berpacaran dengan harry. Karena kami baru jadian setelah mendapatkan gelar sarjana. Dan tinggal menunggu bulan aku sudah akan menikah dengannya. Dan Tari, agggh dia sudah menikah duluan setahun setelah lulus kuliah.
Aku sedang rajin-rajinnya menyiapkan pesta pernikahanku. Namun harry, dia tidak sesemangat dulu. Aku juga tak tau kenapa. Malam itu aku sedang duduk di ruang tamu bersamanya sambil melihat beberapa majalah. “gimana kalau gaunnya yang ini?” tanyaku. Dia hanya bengong, lalu aku menyikutnya “hey.. kok bengong?”. “emmm.. gak kok aku lagi mikir aja din” katanya. “din? Siapa tuh? emangnya aku udin?” cetusku kesal, dari tadi aku bicara panjang lebar eh dianya ngelamun dan salah pula manggil namaku. “maaf sas..” katanya sambil menarikku kedalam pelukannya. Setelah itu tak ada lagi yang dia katakan dan langsung pamitan pulang.
“Tar.. temenin aku dong” kataku pada tari yang sedang asik memberi makan putrinya yang kedua. “kemana lagi?” tanyanya. “temenin aku liat-liat rumah sakit yang mau direnovasi, aku kan dapat bagian buat ngegambar”. “tunggu si alicia tidur siang ya”. “oke deh, trus sambil nunggu aku mau ngapain?”. “ya terserah, mau ikutin bobo kek, atau mau main sama si anisa tuh di depan” katanya sembarang. “suami kamu mana tar? Ini kan hari minggu, masa dia kerja juga sih”. “dia lagi tidur tuh kecapean”. “oh” gumamku.
Aku dan Tari berangkat menggunakan mobilku menuju rumah sakit tersebut. Sesampai disana kami melihat-lihat sekeliling. “Sas.. rumah sakitnya bagus juga ya, gak menakutkan” katanya sambil melihat-lihat halaman rumah sakit yang indah ditumbuhi bunga-bunga. Air mancur di tengah-tengah halaman juga sangat indah. “Sas?” panggil tari. “apaan?” tanyaku. “bukannya itu harry ya? Emang sakit apaan? kok kamu gak nemenin?”. “dia gak bilang kalo lagi sakit kok, entar ya” kataku sambil melangkah hendak menemui harry “Harry..” panggilku. Dia menoleh dan sedikit terkejut “oh hai.. ngapain?”. “aku? kamu kan udah tahu aku yang mau gambar rumah sakit ini. Kamu ngapain disini?”. “tadi aku temuin adik aku disini, anak papa”. “oh.. yang sering kamu ceritain itu ya? Mau pulang bareng gak?”. “boleh, skalian aku mau ngomong sesuatu” jawabnya. Akhirnya Tari membawa pulang mobilku sendirian karena dia malas menjadi obat nyamuk. Gak solider banget, dulu waktu dia asik-asik pacaran aku selalu jadi obat nyamuknya.
“mau ngomong apaan?” tanyaku padanya yang dari tadi diam. “Sas.. maafin aku”. “kenapa minta maaf, emang salah apa?” tanyaku heran. “denger ya, jangan kaget dan jangan nyelah dulu, please. Aku minta maaf, aku tak bisa menikah denganmu. Sungguh aku mencintaimu, namun aku tak bisa. Aku sudah lama menjalin hubungan dengan dokter dinda, dokter yang ada di rumah sakit tadi. Undangan yang dulu kucetak bukan undangan pernikahanku denganmu namun undanganku dengannya. Maaf aku menyakitimu. Aku akan menerima segala tuntutanmu”.
Aku merasa terpukul dan terhina, pantas saja dia tak mengijinkanku melihat undangan yang dulu dia cetak. Harusnya kau minta maaf karena sudah kedua kalinya membuatku terluka, kataku dalam hati. “hubungan kita berakhir, bukan karena kau yang mengakhirinya. Namun aku memang mengiginkannya. Antarkan aku ke rumah Tari” kataku pedas. “maaf saskia”. Aku tak bicara banyak lagi, karena hatiku begitu sakit. Setelah sampai di rumah tari dia memberikanku undangan tersebut. Hatiku seperti tersayat pedang tajam, sungguh pedihnya. Aku menangis di pangkuan Tari, untuk kedua kalinya aku menangis dengan alasan yang sama.
Minggu depan ternyata pesta pernikahannya. “Sas.. kamu bakalan pergi ke pestanya?”. “mungkin..” kataku lirih. “kau memang harus pergi, kau harus membuktikan bahwa kau bisa berdiri walaupun tanpa dia di sisimu”. Semalam Harry mengsmsku, katanya dia sangat merasa bersalah padaku. Memangnya hanya aku yang marah? Bagaimana keluargaku? Sungguh kau begitu jahat padaku.
Pernikahannya pun tiba. Hatiku sakit, namun kutahan semua amarahku agar aku tak menangis di pernikahan mantan kekasihku tersebut. Aku melihat sekeliling, banyak tamu yang datang. Beberapa kukenal sebagai teman-teman SMA dan teman kuliah, ada juga teman kantornya. Ternyata hanya aku yang bego, semua orang tahu kekasihnya adalah dokter dinda, seorang dokter cantik yang masih muda. Ku berbalik dan bugg, sebuah minuman yang untung saja berwarna bening tumpah ke bajuku. Bukannya marah aku malah minta maaf “maaf ya.. maaf..”. “Saskia gembrot?” panggil seseorang yang menabrakku tadi. Kulihat wajahnya, dan aku memang mengenalnya. Bagaimana tidak? Siapa lagi yang akan memanggilku gembrot kalau bukan dia, Sudah tahu aku punya badan yang kurus. Tapi dia tampak begitu berbeda, dia rapi dengan setelan jas hitamnya, rambutnya juga ditata rapi, bahkan bau parfumnya saat datang ke rumahku dulu tak pernah berubah. “Boy?”. “iya ini aku boy, apa yang membawamu kemari?” tanyanya. “mau mendengar sebuah cerita?” tanyaku akhirnya setelah lama berdiam.
Delapan tahun yang lalu boy menceritakan kesedihannya padaku di tempat ini. Di tepi pantai, sambil makan jagung bakar. Aku menatap kosong di depan. “what’s wrong?” waktu seakan terulang, dulu itu adalah pertanyaanku padanya. “Harry.. dia adalah cinta pertamaku. Dulu waktu kita kuliah kau pernah bertanya kan, itu adalah jawabanku. Aku sangat mencintainya, sampai skarang malahan. Kami sempat pacaran empat tahun, dan beginilah caranya mengakhiri. Aku pikir dia adalah orang yang akan mendampingiku” aku tertawa sinis. “Harry adalah kakak tiriku, kau tahu itu? Dia merebut ayah dan juga cintaku”. Aku menatapnya tak percaya. Ternyata adik yang sering harry ceritakan itu boy. Berarti dia adalah dokter yang ada di rumah sakit itu juga. Dari kata-katanya aku tahu bahwa dia mencintai dokter dinda, walaupun dia tak menjelaskannya secara langsung. “bolehkah aku bertanya? Mengapa kau bisa menjadi seperti ini? Aku pikir kau tak ingin jadi dokter” tanyaku penasaran. “karena ini adalah permintaan ayahku yang terakhir saat itu”.
Aku menyelesaikan tugasku untuk menggambar rumah sakit itu. Sekarang aku selalu bersama boy, karena tari semakin sibuk mengurus rumah tangganya. Aku sengaja cepat menyelesaikan gambarku karena hatiku sakit setiap kali mengingat rumah sakit itu adalah tempat bekerjanya dokter dinda. Sudah satu tahun berlalu, aku masih saja teringat dengan cinta pertamaku. Sungguh sial, Walaupun aku sudah berusaha.
Aku terkejut melihat kehadiran boy di rumahku sore ini. “ngapain?” tanyaku pedas. “mama kamu ada gak?” tanyanya sambil melirik ke dalam rumah. “emang kenapa tanya mama?”. “pengen masak bareng”. Huh.. dasar sih boy, dia tahu saja kalau mama senang masak. Anjingku juga senang dengannya. Aneh saja melihatnya, semua sepertinya senang dengannya. Akhir-akhir ini aku tahu dia menyukaiku lagi, aku juga tahu dari tari. Tiap malam dia selalu tepat waktu mengsmsku seperti minum vitamin saja. Karena dia aku mulai lupa pernah disia-siakan.
“enak gak?” tanyanya saat sedang makan di restoran langganannya katanya. Malam ini dia memang mengajakku makan di luar tidak seperti biasanya dia membawa bahan mentah dan memasak di rumahku. “lumayan” kataku sambil melanjutkan makan. “Sas.. mau gak nikah sama aku?” tanyanya tiba-tiba. “hah?”. “iya nikah.. entar ketuaan loh, udah dua sembilan tahun kan”. Aku semakin bingung. “Sas.. tahu gak aku nungguin kamu lama banget”. “entar deh.. bukannya kamu cinta sama dokter dinda ya?”. “ampun deh sas.. yang aku maksud waktu itu kamu kali”. Lama kami terdiam. “gimana? Mau gak?” tanyanya sekali lagi, namun aku hanya terus diam. Sampai dia mengantarkanku, aku terus diam. Saat keluar dari mobilnya aku melihat raut wajahnya yang ceria berubah menjadi suram dan setelah semua kata-kata sudah kurangkai dengan indah aku masuk kembali ke mobilnya. Dia hanya menatapku bingung, kemudian kucium pipinya “maaf membuatmu menunggu, aku bingung harus manjawab apa. Tapi yang pasti aku sangat ingin menikah denganmu. Aku ingin mengucapkan janji suci itu di hadapan Tuhan bersamamu”. Lalu dia memelukku erat dan berkata “terima kasih walaupun terlambat aku tetap mencintaimu. Bagaimana kalau minta restunya sekarang” sudah sekian lama sejak aku pertama kali melihat sinar di matanya, dan malam ini cahaya itu kembali bersinar.
Aku hanya tersenyum. Sejujurnya ini sudah jam dua belas malam, mama dan papa pasti sudah tidur. Dengan wajah yang enggan mama dan papa mendengarkan lamaran boy. Dan dengan enggan dan tanpa menjawab mama dan papa kembali ke kamar. Aku menahan tawa karena melihat wajah boy sedih. Tak lama papa bersuara dari kamar “Boy.. kasih papa keturunan sebelas ya, biar bisa bikin kesebelasan” akhirnya aku tertawa bersama boy. Aku memang yakin mama dan papa mengizinkan karena baru beberapa hari yang lalu mama dan papa mendesakku untuk segera menyatakan cinta pada boy, gila kali ya. Bagaimana tak suka, boy jago masak seperti mama dan gila bola kayak papa.
Beberapa bulan kemudian aku menikah juga dengan boy, tak mau menunggu lama. Aku takut ketuaan seperti kata boy. Akhirnya aku dikaruniai tiga orang anak dengan dua kali melahirkan. Karena yang kedua kalinya kembar sepasang. Yang pertama kuberi nama Sazzy dan si kembar Ferel dan Felicia. Keluarga yang bahagia pikirku. Aku sangat menyayangi suamiku dan juga ketiga anakku yang menggemaskan. Boy juga sangat perhatian pada mereka, mengingat pekerjaannya sebagai dokter yang sibuk dan aku memutuskan untuk mengurus rumah tangga saja. “Setiap kali kau lupa pernah mencintaiku, aku akan dengan senang hati mengingatkan” kataku setiap bangun pagi tentu saja setelah aku berdoa pada Tuhan.
Cerpen Karangan: Sherly Yulvickhe Sompa
Facebook: Sherly Yulvickhe Sompa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar