Recent twitter entries...

Rabu, 21 Januari 2015

Memang Harus Sendiri


Namaku nia, aku sekolah di salah satu smp terdekat di sekolah ku. Pagi yang cerah, burung-burung bersahutan, menyambut datangnya pagi. Pagi itu aku begitu bersemangat karena aku akan datang ke sekolah yang aku inginkan dari dulu. Pagi itu pun pembina/guru memberi hal hal yang harus dibawa yang nantinya akan digunakan untuk atribut masa orientasi siswa (mos). Dan setiap siswa pun disuruh untuk mencari nama mereka sesuai dengan yang sudah ditentukan oleh pembina.
Akhinya aku pun menemukan namaku di gugus 8. Aku pun duduk di urutan nomor 2 paling belakang. Aku duduk diam di sebuah kursi dan tenyata di sebelahku ada seorang perempuan, sebenarnya aku mau menyapanya tapi aku segan malihat mukanya yang jutek.
Pada saat senior mos mulai memperkenalkan diri ada satu senior yang membuat perhatianku hanya tertuju padanya. Apakah ini yang dinamakan getaran cinta… hah udah jangan banyak ngayal..
Hari demi hari ku lewati, aku pun masuk di ekskul pmr dan kebetulan senior mos yang membuat perhatianku tak teralihkan itu juga menjadi anggota pmr. Rasanya seneng banget, dengan itu aku bisa mengenalnya lebih jauh.
Seiring berjalannya waktu aku pun sudah dua bulan mengikuti ekskul pmr. Pada saat semua junior sedang duduk di sebuah lapangan rumput kami pun bersenda gurau bersama para senior. Gak tau kenapa aku dipanggil oleh salah satu senior untuk maju ke depan, dan ternyata abang senior yang kusukai itu juga maju bersamaku dan kami pun bersalaman.
“adek” dengan nada sok imut
“iya bang” nada malu-malu
“nama adek siapa” sok imut lagi
“nia bang”
Dan setelah itu kami pun dipersilahkan itu duduk kembali ke tempet semula. Betapa senangnya hatiku bisa bersalaman dengan dia erat lagi.
Tapi, aku bertanya–tanya darimana senior tau kalau aku suka pada bang senior itu. Dan ternyata aku tau siapa yang membocorkan itu yaitu dion.
“grgrgrgr” nada kesal
Kesal juga ada, seneng juga ada huaaaa campur aduk deh.
Bulan pun berganti, hari pun berganti. Pada saat itu aku sedang ke kantin bersama beberapa temanku. Dan kulihat ada abang senior yang sedang duduk-duduk bersama teman-temannya. Dan ada salah satu junior pmr yang mau menyalami pmr abang senior itu dan abang itu bilang
“gak usah dek abang udah keluar dari pmr”
“ya udah bang”
Tiba–tiba dia pun memberitahu kepadaku dan teman–temanku bahwa dia sudah keluar dari pmr. Ya allah betapa sedihnya hatiku mendengar dia sudah keluar aku pun sudah tidak semangat lagi untuk latihan pmr, namun aku harus membuang jauh-jauh dia dari hatiku.
Ada temanku bernama lia dia salah satu anak kelas tujuh juga sama seperti aku. Dia menceritakan bahwa abang senior itu menembak salah satu anak di kelas itu yang namanya ola. Hatiku seperti ditusuk-tusuk.
Sekarang aku menjalani hariku seperti biasa, pada saat aku baru datang ke sekolah tiba-tiba si lia memberi tau kalo si ola sudah putus sama abang senior itu wah seneng banget.
Pada saat itu aku ada di kelas sedang ngobrol-ngobrol sama teman sekelompokku. Dan dia mengikuti ekskul catur dan kebetulan juga abang senior itu juga mengikuti ekskul catur juga dan dia bilang sama abang senior itu kalo aku suka sama abang itu tapi respon abang itu cuma bisa saja. Aku sedih kenapa dia tidak memberikan respon yang tidak biasa saja.
Dan pada saat pulang dari latihan pmr berama lia dan dia cerita kalo si ola mau clbk sama abang senior itu. Aku mendengarnya sangat sedih. Aku tidak mau berlarut–larut dalam kesedihan aku mulai merenung untuk apa aku menunggu cinta yang tak pasti dan aku berfikir aku harus fokus kepada sekolah daripada memikirkan dia yang tidak memberikan respon. Dan aku memang harus sendiri aja.
Sekian
Cerpen Karangan: Lili Susanti
Facebook: Li Li / https://www.facebook.com/profile.php?id=100006715869648
hay ini cerpen pertamaku lho
apabila ada kesalahan mohon dimaafkan …
BYE….

Ingin Kumiliki


Alunan suara Stinky masih terdengar dari mini compo kesayanganku, kupandangi foto Iqbaal yang tersenyum kanis dalam pigura di atas meja belajarku. Senyum itu, senyum yang selalu ku suka, rasanya bukan milikku lagi.
2 tahun yang lalu..
“hai.. boleh kenalan? Namaku Iqbaal” ujarnya mengulurkan tangan.
“Shalsa..” balas ku agak ragu.
Seminggu ini perhatianku memang banyak tersita kepadanya, gayanya yang lucu dan sangat disegani seantero sekolah. Iqbaal adalah siswa kelas 12, sedangkan aku baru duduk di kelas 11.
“heii.. kenapa melamun?” tanya Iqbaal mengagetkanku.
Aku hanya menggeleng.
“ke kantin yuk” tambahnya sambil menggandeng lenganku, anehnya aku tak mampu menolak ajakannya.
Aku masih tampak kikuk ketika Iqbaal menyilahkan aku duduk, banyak mata yang memperhatikan kami, terutama Bella, teman sekelasku, ia menatap benci ke arahku, menurut gosip yang beredar, Iqbaal adalah kekasih gadis berponi itu.
“Kamu melamun lagi, ada apa?” Iqbaal kembali mengejutkanku.
“Aku yang harusnya bertanya, ada apa kamu mengajakku kesini?” ujarku setengah berbisik.
Aku mulai berani menatap matanya yang bagus dan teduh itu, ah.. tak ada seorang pun bisa memungkiri kalau Iqbaal memang sangat menarik.
Iqbaal malah tersenyum tanpa menjawab pertanyaanku.
“cepat katakan ada apa, kamu tidak tahu apa kalau Bella terus memperhatikan kita. Aku tak ingin disebut Pho dan PPO alias perebut pacar orang” ujar ku kembali berbisik.
Iqbaal tertawa
“maksudmu aku pacaran dengan Bella? Siapa bilang? Justru hal ini yang ingin kukatakan kepadamu” ujarnya menghela nafas.
Aku sudah tak sabar menuggu pembicaraanya.
“Aku menyukaimu, kamu mau jadi pacarku?”
Aku melongo, terkejut bukan main.
“Jangan bercanda Iqbaal. Aku tidak punya waktu untuk melayani omong kosong mu!” ujarku menahan emosiku.
Enak saja kalau dia mau mempermainkan perasaanku.
Aku pun segera berlalu pergi.
“Shalsa.. aku serius!” ujarnya menatapku tajam.
Tappp..
Langkahku terhenti. Aku menghela nafas panjang. Ku dengar langkah kaki mendekatiku. Iqbaal menyentuh pundakku lembut, dan menatapku teduh. Aku tak membalasnya, aku membuang pandanganku.
“Shalsa, aku tahu ini terlalu cepat, tapi aku tak memintamu menjawabnya sekarang, biarkan waktu yang menjawabnya” tambah Iqbaal lagi.
Aku hanya diam mematung, bingung.
Ternyata memang benar, waktu yang mendekatkan kami. Kami selalu bersama, Iqbaal juga tak lagi menyingung dan menanyakan perasaanku padanya. Yang ku tahu kami saling menyayangi.
Menjelang ujiaan akhir, Iqbaal sangat sibuk dan jarang menemuiku, dan akhirnya aku kehilangan kontak dengannya. Hingga saat pengumuman ujian dia datang menemuiku.
“Salsha, aku kangen kamu” ujarnya merangkulku.
Aku hanya tersenyum hambar.
“Selamat.. ku pikir kamu sudah melupakanku” ujarku pelan.
Iqbaal menggeleng cepat.
“Tidak Salsha, maafkan aku, aku terlalu tegang mengahadapi ujian ini, aku berjanji akan selalu bersamamu mulai saat ini” ujarnya menyentuh pipiku lembut.
Aku hanya mengiyakan ucapannya. Sepertinya rasa kesalku hilang seketika, mungkin karena aku terlalu mencintainya.
Namun nyatanya hanya hari itu Iqbaal kutemui, ia kembali menghilang, semua temanya sudah kutanyai, namun jawabnya sama ‘TIDAK TAHU’.
Aku kembali sendiri, hingga akhirnya aku melihat Iqbaal menggandeng Bella di toko buku. Aku segera berbalik dan menghindar berharap mereka tak melihatku.
“Iqbaal.. kamu menoreh luka yang dalam di hatiku. Setelah lama menghilang, kamu masih saja menyakitiku. Padahal dengan sabar aku menantimu, menunggu dengan segenap cinta yang selalu kamu tawarkan dengan indah, kamu pengecut.!”
Tiba-tiba saja aku jadi membenci Iqbaal.
“Salsha ada temen lo tuh” ujar adikku, Salsha mengetuk pintu kamar. Aku tersadar dari lamunanku.
Pasti Steffi, dia janji mau meminjam catatanku.
Aku segera merapikan rambutku dan segera menemuinya.
“masuk Steff.. tumben betah di luar.” ujarku sambil membuka pintu.
“Selamat malam Shalsa..” suara lirih itu membuatku terhenyak beberapa saat.
“Iqbaal.? Masuklah, silahkan duduk dan jelaskan apa maksudmu kesini”
“aku mau minta maaf..”
“untuk..?”
“semuanya..”
“memang apa salahmu, justru aku yang salah mencintai orang” balasku ketus
“Salsha dengar.. sebenarnya aku dan Bella bersahabat sejak kecil, Bella membencimu, karena kau lebih dari segalanya, ia menyuruhku menghancurkanmu, dia ingin kau mencintaiku dan kemudian melukai hatimu, bodohnya aku mau saja menuruti ide gilanya..” ujar Iqbaal panjang lebar.
Ia menarik nafas panjang dan menghembuskannya keras.
“Rencana Bella berhasil kan? dia sudah melihatnya sendiri” balasku mencoba tenang.
“kamu terlalu kuat dan sabar walau disakiti, kamu selalu bisa menghadapinya, kamu sangat tegar. Dan itu membuatku mencintaimu..”
Aku mengeluh dalam hati, jangan tawarkan cinta lagi untukku.
“ini kukatakan sejujurnya Shalsa, setelah sekian lama berpisah kupikir aku bisa melupakanmu, ternyata tidak. Bayanganmu selalu ada di benakku” ujar Iqbaal menatapku.
Mata itu masih saja seperti dulu, seperti magnet yang siap menarikku ke dalam.
“Kamu selalu datang dan pergi sesuka hatimu, tanpa peduli perasaanku, lalu kamu bilang kamu mencintaiku?” suaraku meninggi, emosiku sudah tak tertahankan, semuanya keluar begitu saja.
“aku bersungguh-sungguh, aku bersedia melakukan apa saja untukmu”
“maaf! simpan saja bualanmu itu, aku sudah tak tertarik lagi, mungkin ini termasuk skenariomu dengan Bella” ujarku menatapnya sinis.
Ya tuhaaan… Sebenarnya aku tak tega, tapi mau gimana lagi.
“percayalah Salsha..”
“selamat malam Iqbaal, ku harap ini pertemuuan terakhir kita” sahutku dingin dan segera berlalu.
Iqbaal menatapku iba.
Luka itu semakin terkoyak. Aku ingin memilikimu tapi apakah harus sesakit ini..?
TAMAT
Cerpen Karangan: Mutiara Septinola
Facebook: Mutiaraa Septinoola
pollow : @mutia_septi99 kalau mau liat karya aku yang lain yuk like : Imutiara septinola

Bintang Bersinar Lagi


Gemerlap panggung dengan lampu warna-warni tertata megah. Ribuan penonton berteriak memanggil namaku sambil mengangkat poster bergambarkan wajahku. Dadaku bergejolak, nafasku tak beraturan, dan jantungku mengalun tanpa irama. Disitulah aku berdiri, berusaha membalas dengan senyuman senang berpadu haru. Dentingan musik sudah mulai berirama, ku ambil nafas panjang masuk dan menikmati irama demi irama tembang kenangan yang ditantangkan juri. Setelah saatnya tiba aku mulai bernyanyi, mencoba menjiwai lagu sebisaku. Ku gengam mic erat, kupejamkan mataku rasanya saat ini aku berada di Banyuwangi malam.
Tahun 1999 aku masih SD kelas 2 aku berlari dengan tangan menggenggam botol plastik bekas air mineral, aku berlari menuju ke sebuah daratan tinggi yang biasa disebut gumuk disana ditanami ratusan pohon kakao. Dengan nafas terenggah-enggah aku tiba di atas. Aku berdiri memandangi puluhan hektar sawah yang membentang. Angin menyentuh rambutku pelan, aku berteriak lantang.
“Wahai alam dengarkan aku… dengarkan suaraku…” Angin berhembus lagi, dan aku berteriak lagi.
“Aku nanti akan jadi orang terkenal, menjadi penyanyi ibu kota” teriak ku lagi, namun kali ini angin tak lagi berhembus. Seorang petani yang sedang menjaga padi dari serangan burung menyahut dengan suara keras, sehingga dapat ku dengar dari atas gumuk.
“Semoga nak… kamu bisa jadi orang terkenal dan membanggakan wilayah kita ini..”
“aku pasti bisa menjadi orang hebat… pak lik..” teriakku lagi, disitu aku selalu menghabiskan waktu dan suaraku untuk bernyanyi, aku tak ingin mengganggu orang dengan suaraku yang melengking tinggi, sehingga aku membuat konser tunggal, menganggap gumuk itu adalah sebuah panggung megah, botol bekas air mineral sebagai mic, dan padi-padi menguning adalah ribuan manusia yang menyaksikanku. Penonton setia yang selalu melambai-lambai dan bergoyang-goyang tertiup angin sore.
“Berkibarlah benderaku.. lambang suci gagah perwira.. di seluruh pantai Indonesia kau tetap pujaan bangsa…” Suaraku menggema bersahut-sahutan terbawa angin. Aku senang sekali menyanyikan lagu-lagu nasional saat itu
Hingga pada suatu ketika, saat aku kelas IV aku dan lima temanku menjuarai lomba paduan suara tingkat Kabupaten di Pendopo Banyuwangi. Itulah penghargaan pertamaku. Dan saat kelas VI aku menjuarai lomba tari tradisional tunggal tingkat Provinsi. Kata ibuku, ayah selalu membanggakanku di depan rekan-rekannya, ayahku bekerja di Kantor Kecamatan sebagai tukang kebun namun selalu mendapat kepercayaan pak camat. Disana ayahku seperti asisten pribadi Pak Pamat. Ibu juga memberitahukanku kalau Pak Camat mengucapkan selamat untukku. Kupajang piala pertamaku di ruang tamu dengan tujuan kalau tamu-tamu yang berkunjung melihat prestasiku.
Dengan berbekal dua piagam kejuaraan yang kumiliki, aku mudah mencari SMP terfavorit di daerahku. Kata orang-orang SMP nya anak-anak pintar, aku salah satunya. Aku mengikuti berbagai extra yang aku sukai seperti extra paduan suara, extra tari, extra musik dan extra teater. Aku juga aktif dalam organisasi Osis dan Dkg. Hari-hariku semakin sibuk, kewalahan dengan jadwal yang padat. Tiga tahun full masa smpku tersita untuk fokus terhadap sekolah, extra dan organisasi. Aku tak peduli dengan dunia luar itu apa. Aku menghabiskan waktu di sekolah hingga larut-larut malam, sampai terkadang ibu sangat menghawatirkan keadaanku. Namun tetap saja saat itu yang aku fikir adalah bagaimana caranya nilai akademisku tetap 9 atau naik hingga 100 dan nilai non akademisku maksimal.
Berkat ketekunan dan doa akhirnya itu semua dengan mudah aku raih. Di akhir kelas tiga aku mendapat NUN tertinggi, yang lebih membanggakan lagi aku menjuarai lomba piano tingkat provinsi. Ketika pulang wisuda SMP orangtuaku menghadiahi aku sepeda motor. Aku jingkrak-jingkrak senang, yang lebih senang lagi ibu bilang kepadaku kalau aku akan punya adik lagi. Aku memiliki satu adik laki-laki namanya Dion kuharap ibu membirikan adik perempuan untukku.
Aku memilih SMAN favorit yang berada di jantung kota Banyuwangi, karena sekolahnya jauh dari rumah. Ayah memutuskan agar aku kost. Ibu tak tega melihatku mengendarai motor pulang pergi sekolah. Aku nurut saja. Masih sama seperti SMP aku menarget prestasi nilai minimal akademis 9 walaupun aku ikut Osis, Da dan Extra Musik. Siapa sih yang tak mengenal nama Bintang Ilham Erlangga? Bintang yang multitalenta bersinar setiap saat. Namun semua itu membentukku menjadi manusia yang tak memiliki rasa solidaritas, aku lebih senang individual dalam pelajaran. Aku tak peduli teman-teman tak menyukaiku toh aku bisa sendiri. Apapun aku bisa sendiri dan aku juga tak mau mengganggu mereka. Aku berinteraksi dengan teman ketika berorganisasi selain itu aku ingin kita bersaing. Aku pintar mengasah bakat-bakat yang aku miliki bahkan bakat yang terpendam sekaligus; menulis misalnya. Diam-diam aku suka menulis puisi, mengarang cerita bebas bahkan membuat komik dengan animasi yang kubuat sendiri.
Saat menjelang ujian semester 2 ayah menelfonku kalau ibu berada di rumah sakit. aku tahu kalau ibu akan melahirkan adikku. Sepulang sekolah aku ke rumah sakit naik bus kota. Sesampainya di rumah sakit, ayah dengan air mata yang berlinang memelukku erat. Ayah yang selama ini gagah kini lemah, ia seperti manusia tanpa roh. Sedangkan adikku Dion yang masih berusia 12 tahun menangis di depan pintu kamar operasi.
“Ibumu keguguran Ham dan nyawa mereka berdua tak terselamatkan.” Suara itu bagaikan petir yang menyambar, aku tak kuasa menahan air di kelopak mataku. Baru saat itulah aku tahu apa yang dirasakan ayahku. Ayahku telah kehilangan dua sayapnya. Namun apa daya, aku bisa apa? itulah takdir dari Tuhan. Aku hanya bisa menguatkan ayahku yang lemas memucat. Adik dan ibuku telah tiada pada 04 Juni 2007. Saat itulah aku benar-benar berduka. Aku tak bisa berbuat apa-apa dengan kesedihanku. Aku menangis, mengingis dan menangis di belakang ayah.
Pada tahun 2010 aku lulus SMA, aku mendapat beasiswa di salah satu Universitas Tinggi Negeri di Jawa Barat, S1 Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM). Atas restu ayah aku berangkat ke Depok dengan uang yang tak begitu banyak karena aku mendapat subsidi dari pemerintah per bulannya. Tak lupa aku membawa gitar yang dibelikan ibuku beberapa tahun lalu saat aku masih aktif di extra musik SMP, Kata ibu gitar ini akan menolongku dalam keadaan apapun.
Pada semester pertama aku menjalani kuliahku dengan semangat, di bulan berikutnya, bulan berikutnya dan bulan bulan berikutnya lagi sampai genap satu semester. Namun ternyata jalan tak selalu indah. Jalan tak selalu seperti apa yang diatur manusia. Di sana aku kesulitan mencari teman sulit mencari orang-orang baik. Apa mungkin inilah karma? Tak ada yang mau mengenalku. Apa karena aku adalah orang Banyuwangi. Kenapa? ada apa? kenapa mereka semua takut kepadaku? santet, yeah santet? Aku mencoba menekankan lagi kalau daerahku memang terkenal dengan ilmu hitamnya namun dulu, dulu sekali pada zamannya nenek moyang. Aku hanya bisa bilang kalau Banyuwangi adalah penyumbang oksigen, Banyuwangi wilayah hijau penuh kedamaian dan Banyuwangi adalah kota yang exsotis dan aku hanya mahasiswa biasa. Manusia pada umumnya. Aku punya Allah bukan santet atau ilmu hitam. Namun bukan itu alasannya. Alasanya adalah aku manusia yang terlalu idealis dan individualis. Kalau aku bisa apapun tanpa teman kenapa aku mencari teman? Kenapa ya? untuk apa? aku mencoba mencari-cari di internet kenapa manusia membutuhkan teman. Ternyata jawabanya adalah manusia memang terciptakan untuk saling berdampingan, bersosialisasi bahkan berpasang-pasangan. Kalau memang begitu aku harus berinteraksi dengan banyak orang dan ternyata itu menyenangkan. Menyenangkan sekali.
Semester dua telah berlalu, diiringi angin pagi. Aku menelusuri koridor kampus, saat itu masih sepi namun entah kenapa aku ingin pergi ke perpustakaan. Ada yang menuntunku berjalan kesana. Aku mendengar suara sepatu ber hak tinggi berirama di belakangku, seperti mengikuti langkahku. Aku berhenti suara sepatu itu juga berhenti tepat di belakangku. Aku menoleh ke arahnya. Perempuan. Perempuan cantik. Cantik sekali. dia tersenyum kepadaku. Aku juga tersenyum kepadanya. Aku tak tahu kenapa ada getaran di hatiku sedemikian rupa yang tak dapat kuungkapkan? Apa ini jatuh cinta? Apa ini namanya jatuh cinta? Selama ini aku tak pernah merasakan jatuh cinta. Aku tak pernah dekat dengan perempuan! Sama sekali.
“hai.. kenapa bingung?” ucapnya, bibir tipisnya mengayun indah.
“ma.. mau ke perpustakaan..” ucapku gemetar.
“sama dong.. kenalin gue Amelia dari Fakultas Ilmu Ekonomi..” dia mengatungkan tangannya dan aku meraih tanganya. Kami bersalaman.
“Bintang.. FKM” ucapku singkat. Kami melangkah bersama, berjalan sambil ngobrol ini itu. kami saling tanya dan saling ingin tahu. Di perpustakaan kami mencoba akrab. Begitu cepat dan singkat perkenalan kita. Kami menceritakan diri masing-masing, ternyata perempuan cantik itu berasal dari Jember, kami berdua ternyata bertetangga. Tak lupa kami bertukar nomor hp dan berharap bisa bertemu lagi. Itulah pertemuan pertama aku dan dia. Kusimpulkan dia cinta pertamaku.
Hari berganti hari aku semakin nafsu untuk menemuinya. Kami sering janjian di perpustakaan. Lama kelamaan kami berani keluar, ke bioskop, ke pantai, ke restoran dan kemana-mana, aku mencoba menyatakan perasaanku. Aku dan dia menjadi pasangan kekasih. Aku mencintainya. Sungguh sangat mencintainya.
Aku menceritakan kedekatanku dengan Amelia kepada ayah, namun pendapat ayah aku tak boleh pacaran dulu sampai aku lulus dan sarjana. Namun aku tak peduli larangan ayahku. Aku tetap saja pacaran dengan Amelia. Kebutuhanku pun semakin banyak, sebagai laki-laki aku mencoba memberi kebahagiaan untuk Amelia walaupun kutahu ia tak menginginkan aku itu, uang beasiswaku habis sebelum waktunya, terpaksa aku meminta kiriman kepada ayahku. Aku sering bolos kuliah setiap harinya bukan karena Amelia namun aku senang bergaul dengan komunitas-komunitas hitam di Jakarta, mungkin aku sangat keterlaluan. Nilaiku anjlok bebas sehingga pada suatu saat setelah Ujian semester 5 beasiswaku dicabut.
Aku berjalan pelan dan lemas, saat aku tiba di depan tempat kos, Amelia telah berdiri. Dia memelukku, menghiburku sampai fikiranku mulai tenang. Kami berdua masuk ke dalam kamar kontrakkan. Dia duduk di sebelahku sambil memijit bahuku.
“sayang aku membawakan ini untukmu..” dia mengeluarkan beberapa botol minuman, yang kutahu itu adalah minuman beralkohol tinggi. Dia membuka tutupnya dan memberikannya padaku. Jujur selama ini aku tak pernah menyentuh yang namanya minuman keras. Merok*k saja tak pernah apalagi minum!
“sekali-kali saja, ini hanya menghangatkan badan, di luar hujan lebat” aku mengangguk, mungkin saat itu aku stress berat dan aku meneguknya. Aku mengernyit, rasannya benar-benar tak enak. Setelah beberapa tegukkan lidahku mulai terbiasa. Aku menghabiskan satu botol minuman. Kepalaku rasanya mulai pusing sekali. lebih pusing dari sebelumnya, setelah itu aku seperti terbang dalam khayalan.
Hujan yang turun dengan derasnya tak menyadarkanku. Entah apa yang terjadi aku tak tahu. Aku membuka mata, aku mencium bau tak enak pada aroma nafasku. kepalaku masih pening, aku mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi siang ini. aku mengingat-ingat dan akhirnya aku ingat beasiswaku telah hilang. Aku menoleh ke samping, Amilia tertidur pulas membelakangiku. Tanpa baju. Dan aku. aku juga tak memakai baju. Entah kenapa aku terburu nafsu birahiku. Bulan tersenyum riang menyaksikan kami berdua.
Bulan berganti bulan, aku meminta kiriman terus menerus dari ayahku. Aku tak pernah peduli ayahku dapat uang dari mana. Ia tetap memberi, memberi dan memberiku. Pada bulan ke 3 semester 5 ayah menelfonku kalau sawah kita telah habis dijual. Ayah tak memiliki apa-apa lagi kecuali rumah dan beberapa ternak untuk membiayayai sekolah Dion. Entah kenapa semenjak ada Amilia aku tak pernah lagi merindukan orang rumah. Selama aku di Jawa Barat aku belum pernah sekalipun pulang ke Banyuwangi. Ini sudah tahun ke dua aku disini kata ayah aku harus pulang ke Banyuwangi agar aku bisa melihat keadaan rumah sekarang. Aku merenung, merenung dan merenug. Pasca beasiswaku di cabut aku menghindari Amelia. Rasanya aku tak ingin bertemu dia lagi. Aku ingin sendiri dan fokus kepada kuliahku. Aku mulai rajin belajar. Mengejar lagi yang selama ini tertinggal. Belum terlambat fikirku.
Aku bekerja serabutan ini-itu, ngajar les musik, les bahasa inggris dan lain-lain bahkan sampai ngamen untuk membiayai kuliahku yang tinggal satu setengah tahun lagi. Tak ada waktu istirahat bagiku, aku sibuk berat. Metropolitan yang sesungguhnya adalah kejam. Disini terdapat hukum alam siapa cepat dia dapat. Dari bekerja serabutan aku masih kurang untuk membiayai kuliah dan kebutuhan hidupku. Tepat pada bulan terakhir di semester 5. Amelia menemukan tempat persembunyianku pada suatu malam di Bogor ketika itu aku mengikuti penyuluhan kesehatan warga Bogor. Kebetulan aku sendiran, karena saat itu hendak ngamen sambil berjalan pulang ke camp. Lumayan pikirku.
“kenapa kamu menghindariku enam bulan ini Bintang?” tanyanya. Matanya berkaca-kaca. Dia keluar dari taksi dan langsung melabrakku. Aku tak bisa berlari lagi saat ini.
“aaa.. akku, aku mencari uang untuk kelangsungan kuliahku. beasiswaku sudah di cabut dan harta orangtuaku telah terkuras habis.” Jelasku..
“terus kamu mau kabur dariku? Iya? Aku ini hamil Bintang… aku hamil..” ucapnya.. aku terpaku dan diam membisu melihat tangisnya meledak.
“hamil?” aku melangkah beberapa langkah untuk menyentuhnya dan menanyakan apakah ia baik-baik saja selama lima bulan tanpaku, jiwa keayahanku tiba-tiba muncul namun kakiku berat. Kenapa kabar ini sangat menyakitkan, lebih sakit daripada keruntuhan langit. Ini beda, tak seperti yang di rasakan ayahku ketika ibu bilang kalau dirinya hamil. Apa yang harus aku lakukan? Aku terjatuh bersimpuh aku menangis di hadapan Amelia yang berdiri jauh dariku.
“kenapa kita lakukan itu mel? Kenapa? aku belum bisa menjadi ayah yang baik. aku belum bisa menjadi kepala keluarga yang baik dan aku belum bisa membiayai kehidupan kita bertiga nanti.. aku telah hancur, hancur gara-gara wanita sialan sepertimu” teriakku.. membentak
“kenapa harus terjadi seperti ini? kenapa” emosiku meluap, aku memukul-mukul tanah yang mulai mengering seperti mau mematahkan tanganku sendiri. Amelia berjalan mendekat dan semakin mendekat.
“Jangan mendekat kamu.. aku tahu itu bukan anakku.. kamu bermain dengan laki-laki lain kan..!!” tangisku semakin meledak, Amelia juga menangis mencoba meyainkanku.
“Ini anak kamu ham… semenjak malam itu aku mencarimu kemana-mana.. aku hanya ingin kamu tahu aku nggak halangan lagi. ingat saat kita melakukan kita nggak mabuk kan..? kamu berjanji kita akan menikah” ucapnya menggali-gali fakta.
“kamu ayah dari anak kita. Anak kita berdua..” sambungnya lagi..
“Tidakk.. aku nggak pernah punya anak.. hiikkss hikkss..” aku semakin menangis dan merasa kalau ini adalah hari paling buruk dalam sejarah hidupku. Aku berharap ini hanya mimpi. Namun ini bukan mimpi. Inilah kenyataan. Aku terjatuh dalam kesakitan.
“okelah kalau kamu tidak mau mengakui ini anakmu.. bagaimanapun caranya aku akan menggugurkannya. Demi kebaikanmu dan aku. Kebaikan kita bertiga. Aku nggak akan meminta hartamu sebagai ganti keprawananku. Dan aku juga nggak akan minta uangmu untuk membiayai pengguguran ini, namun satu yang aku minta. Temani aku saat proses pengguguran ini. aku mohon. Dampingi aku sebelum aku menghembuskan nafasku terakhir.” Dia berbicara tepat di depanku lalu dia berlalu dengan taksi warna biru. Entah kemana. Aku berlari.. berlari dan berlari.. aku berlari dan berteriak sekencang-kencangnya.. tak peduli jalanan menatapku aku berlariii dan akhirnya aku tak mampu melangkah lagi. Aku terjatuh. Kugenggam lengan gitar dari ibuku. Wajahnya melintas, aku rindu ibu. Otakku yang cerdas berputar kencang, saat ini aku bodoh.
Aku berjalan lagi memutar tubuhku untuk ke camp. tak ada gunanya aku berlari, di tengah perjalan aku berhenti tepat di depan masjid besar. Seperti biasa seperti ada yang menuntunku, aku melangkah masuk. Mengambil air wudhu dan shalat isya. Aku menangis memohon ampunan kepada Sang Haliq. aku membaca beberapa lembar Al Quran yang selama ini lama tak tersentuh olehku. Hatiku mulai tentram. Otakku mulai dingin. Sepertinnya Allah menunjukkan jalanNya. Aku ingat saat ibu meninggal karena keguguran. Aku sedih Aku nggak ingin kehilangan anakku. Aku nggak ingin. Sebenarnya aku mencintai Amelia, cinta pertamaku. Aku berniat untuk membawa Amelia pulang besok. Yaa besok aku akan pulang.
Saat itu juga aku pergi ke tempat kos Amelia. Dari Bogor langsung ke Depok. Kemacetan panjang pun aku terjang. Aku menunggu di depan rumah kos. Aku mengirim sms berkali-kali agar dia keluar namun tak satu pun ia balas, aku mencoba menelfon hpnya tidak aktif. Aku masuk ke dalam rumah dan berdiri mematung di depan kamarnya. Bismilahirahmanisahim aku membuka pintunya, dia tidur dibalut selimut. Aku memberanikan diri masuk. Saat kusisihkan selimutnnya terlihat di tangan kanannya ia menggenggam Al-quran mini. Hatiku berdesir.
“sayang… bangun..” tanganku menyibak rambutnya. Dia menyipitkan matannya dan menatapku.
“Maaf mengagetkan kamu, sini duduk dekat papah..” ucapku sehalus mungkin. Ia menurut lalu duduk di sampingku, wajahnya sangat pucat pasi. Tanganku mengelus perut Amelia seperti yang sering dilakukan ayah kepada almarhum ibuku saat hamil Dion maupun adik perempuanku. Memang perutnya mulai besar. Aku mencium perutnya lalu tersenyum padanya.
“Aku mencintaimu mel.. aku nggak akan menyuruhmu untuk menggugurkan bayi kita.. kita akan menikah.. kita akan bersama selamnya.. aku janji” ucapku.
“Benarkah? Kita akan menikah..?”
“yaa.. besok kita pulang ke Banyuwangi, aku akan mengenalkanmu kepada ayah dan adikku, setelah itu aku akan melamarmu.. dan kita menikah.. tapi maaf aku nggak bisa membuat pesta megah untukmu..” ucapku lagi sambil menundukkan kepala. Seperti tak berguna.
“Aku tak butuh pesta pesta, yang penting kita menikah sah secara agama sudah cukup, aku siap menjadi mualaf” ucapnya, matanya berbinar. Aku memandangnya, ada ketulusan.
“Tapi kamu harus janji, menerimaku apa adannya.. dalam keadaan apapun.. susah senang bersama… janji..!” aku mengulurkan jari kelingking dan dia pun.
Pagi-pagi sekali, matahari belum tersenyum. Aku dan Amelia sudah berada di stasiun. Saat inilah kami akan pulang. Kami membawa ransel yang tak begitu besar. Perjalanan sangat lama sekali. Berjam-jam lamanya, sepertinnya calon istriku sudah tak nyaman duduk di gerbong. Kasihan anakku. Beberapa kali aku mengusap-usap perutnya sambil berkata “sabar ya sayang!!” walaupun belum begitu nampak besar, bayiku pasti kelelahan dalam perjalanan ujung Jawa Barat sampai ke ujung Jawa Timur.
Sesampainya di Stasiun Kalibaru kami turun dan menghentikan bus. Akhirnya perjalanan mengantarkan sampai ke rumahku. Masih sama seperti sebelumnya. Dengan ketakutan yang luar biasa aku mengetuk pintu dan salam beberapa kali, terdengar suara gebyuran orang mandi di belakang rumah, aku mengetuk lagi Dion yang membuka. Ia memelukku penuh rindu.
Kulihat foto-fotoku masih terpampang di ruang tamu. Foto-fotoku yang multitalenta. Bahkan pialaku masih berjajar rapi di rak khusus, ada beberapa yang baru. Aku membacanya. Lomba lari dan lomba renang tingkat Kabupaten. Ya, itu milik Dion. Pasti Dion menunggu kedatanganku untuk memamerkan prestasinya.
“Hebat kau sekarang… mau jadi atlet ya?” aku mengacak-acak rambutnya. Dia tersenyum bangga. Kuperkenalkan Amelia kepadanya. Calon kakak ipar, aku berbisik kalau aku akan numpang tidur di kamarnya beberapa hari ini, biar Amelia tidur di kamarku.
“Mana Ayah?” tanyaku..
“Masih mandi mas..” ucapnya. wajahnya sangat tampan. Mirip wajah ibuku yang cantik.
“Oh ya Amelia kamu duduk di sini dulu yaa, aku cari ayahku dulu..” Amelia mengangguk. Aku menyuruh Dion membuatkan teh hangat dan menemaninya di depan.
Aku duduk di kursi bambu atau biasa di sebut “Lincak”, aku menunggu ayahku keluar. Ketika ayah membuka pintu dan melihat aku duduk di lincak, ayah berlari menghampiriku, memelukku penuh kerinduan bahkan mencium keningku. Oh senangnya bisa bertemu ayahku yang terlihat sedikit tua. Aku mengajaknya duduk. Dia mengungkapkan perasaanya tentang kepergianku. Ia benar-benar merindukanku. Namun aku tak bisa berlama-lama menyembunyikan ini. Aku langsung bercerta tentang Amelia, aku ingin ayah memintakan Amelia kepada orangtuanya karena.. karena.. ia telah aku hamili.
“apa-apan kamu Bintang? Selama ini kamu buat ayah bangga tapi akhirnya kamu hamili anak orang.. sudah bisa apa kamu? Hah? Kuliah saja masih minta orangtua. main-main hidupin anak orang, kamu pikir punya rumahtangga itu enak?”
“maafin Bintang yah.. ini jalan satu-satunya, Bintang mau bertanggungjawab.. Bintang janji akan biyayai keluarga Bintang sendiri, Bintang mohon yah.. nikahkan Bintang sama Amelia. Bintang tidak mau Amel dan anakku meninggal seperti ibu” aku menangis sambil bersimpuh di kaki ayahku. Bersujud dan memohon. Ayah terdiam mendengar penekankanku.
“Bintang, ayah nggak nyangka kamu seperti ini… ayah benar-benar nggak nyangka”
“maafin Bintang yah.. restui kami. Aku berjanji akan berusaha jadi kepala rumah tangga yang baik.. mengurus anak dan istriku.. menjadi imam yahh hikks hikks hikk”
“Plakkkkkkk” ayah menamparku, suaranya terdengar sampai ke ruang tamu. Setelah itu ia memelukku. Kami menangis berdua.
“baiklah ayah nikahkan kamu, tapi ingat setelah kamu berumah tangga kewajiban ayah sudah lepas terhadapmu..” ayah menatapku. Aku mengangguk seperti anak kecil.
Acara lamaran pun terlaksana. Keluargaku datang ke Jember meminta Amelia. Setelah itu prosesi memuslimkan Amelia dan selang seminggu kemudian Ijab Kabul di KUA terdekat. Kami pun resmi menjadi suami istri. Kami kembali ke Depok. Memulai hari demi hari berdua satu kontrakan.
Beberapa bulan, perut Amelia semakin besar.. aku kewalahan mencari uang sana-sini, uang untuk kuliahku dan kuliah Amelia serta kebutuhan untuk calon bayiku, setiap pukul 07.00 sampai 13.00 aku magang di puskesmas pulangnya ke studio musik menjadi guru les piano setelah itu kuliah dan malam pulang menemani istri. Begitulah setiap harinya.
Pada suatu hari aku mendapat kabar dari teman kalau hari ini ada audisi pencarian bakat oleh salah satu setasiun TV swasta. Aku langsung berlari pulang menemui istriku, meminta izin kepadanya ia pun merestuiku, mengantarkanku mengikuti audisi dengan perutnya yang membesar. Aku memainkan gitarku dan menyanyikan lagu “Ibu” milik Iwan Fals. Bayangan wajah ibu melintasi mataku. Dan tak disangka aku lolos audisi saat itu juga. Aku masuk seleksi dari minggu ke minggu. Sampai akhrinya kini aku menjadi finalis dan berdiri di panggung megah ini. Semua bersorak seraya dentingan musik berhenti. “Trimakasih semua” ucapku, sambil melirik istriku yang duduk paling depan sambil menggendong Baby Tricia.
Bintang kembali bersinar.
TAMAT
Cerpen Karangan: Rachma
Nama: Yulianingtyas Rahmawati
Alamat: Gambiran Banyuwangi.
Sekolah: SMAN 1 GAMBIRAN
Jalan Sriwijaya No 11 Wringinagung Gambiran
Facebook: Julie Rahma & Yulian Rahma
Twitter: Yulian Rahma

Anak Hujan


Matanya menyipit memandang terik matahari, kaki kecilnya berjalan lincah, hatinya bergeming penuh harap. Ketika sampai di rumah reot mirip gubuk matanya melebar mencari-cari sesuatu. Dia berjalan dan mengambil sesuatu itu di bawah batu sebesar buah melon, lalu memasukkan temuannya itu ke lubang gembok. Anak kecil bertubuh kurus itu bernama Irwan, usianya baru 11 tahun. Irwan tinggal sendiri di rumah gubuknya, ibunya meninggal dua tahun lalu. Ayahnya pergi entah kemana sejak ia kecil.
Hidupnya kesepian namun diselimuti ketabahan dan kesabaran. Hidupnya keras serba kekurangan, tapi tak pernah patahkan semangatnya belajar. Dia sekolah dengan rajin walaupun terkadang dia merasa hidup ini tak adil.
Dia duduk di kursi bambu sebagai ruang tamu. Tiba-tiba air mata menggenang di kelopak mata. Ia teringat ibunya, ketika pulang sekolah ibunya selalu memasakkan untuknya walaupun hanya tumis kangkung, sayur nangka ataupun sayur asam. Sekarang semua itu tak lagi ada. Diambilnya kayu kering dan tangannya dengan lincah menggesek korek api lalu dimasukannya ke dalam kompor yang terbuat dari tanah. Setelah api sudah menari-nari panci berisi air dia taruh di bibir kompor tanah. Setelah air bergejolak dia memasukkan daun bayam dan membumbuinya dengan garam. Ia menunggu lagi di kursi bambu. Ia pun tertidur.
“Kebakaran-kebakaran…” teriak orang-orang. Irwan membuka matanya, asap mengepul memenuhi bilik-bilik rumahnya. Dia baru sadar kalau dia tertidur. Dia berlari keluar sambil sempoyongan. Rumahnya tengah dilalap si jago merah.
Warga berusaha memadamkan api tersebut, namun sayang setengah rumahnya telah hangus. Bahkan buku-buku sekolahnya tinggal abu.
Pak RT mengajak Irwan tinggal di rumahnya. Namun rupannya Irwan tidak mau. Irwan teringat kata-kata ibunya. “Jangan tinggalkan rumah apapun yang terjadi,” lamunannya terbang kemana-mana.
“Baiklah Irwan, kalau kau tidak mau tinggal. Kamu yang tabah ya” Ucap pak RT, lalu warga meninggalkannya sendiri.
Ia melihat sekeliling rumah. Hangus dan tak berupa. Kakinya lemas dan jatuh bersimpuh. Tas sekolah, seragam sekolah, dan buku-bukunya hancur. Dia berfikir dirinya akan berhenti sekolah untuk sementara ini. Ia akan mencari uang untuk membeli peralatan sekolah. Sontak tiba-tiba hujan turun begitu deras.
“Hujan kenapa kau tak datang ketika api itu masih melalap rumahku..” teriaknya sekeras mungkin, suaranya bersahutan dengan guntur yang menyambar. Lalu menangis lagi dan terisak-isak. Menyesal akan apa yang sudah terjadi.
Dia beranjak bangun. Dilihatnya payung warna hitam di sudut rumah yang belum dimakan si jago merah. Dia mengambilnya dan pergi membelah derasnya hujan. Dia tak tahu kakinya berjalan kemana. Sesekali dia berhenti ketika guntur kembali menyambar. Namun kakinya tetap berjalan, berjalan dan berjalan. Sampai di depan Mall besar. Tubuhnya terasa kerdil seraya gedung megah itu berdiri kokoh di hadapannya. Dia tak beranjak tetap saja memandangi megahnya gedung mall itu. tiba-tiba…
“Tiiinnn.. tiiinnn…” sebuah mobil mewah menginginkan dirinya sedikit minggir. Dia berjalan sedikit menjauh. Lalu kaca mobil terbuka, perempuan bergincu tebal di dalamnya. Perempuan berusia sekitar 29 tahun itu mengayunkan tangannya kepada Irwan, dengan takut-takut Irwan mendekat. Fikir Irwan dirinya akan dimarahi karena berdiri di tengah jalan. Irwan akan menjelaskannya.
“Nak antarkan seya sampai di teras Mall..” Ucap ibu itu. Irwan ternganga. Ia benar-benar tidak tahu maksud dari ibu cantik itu. Ibu itu membuka pintu mobilnya, namun Irwan tak juga mendekat.
“Kamu sewakan payung itu kan?” ucap Ibu itu lagi. Irwan mengangguk dan memberikan payungnya, dia berdiri sambil membiarkan tubuhnya basah kuyup.
“ets… sini-sini jangan hujan-hujanan nanti kamu sakit.” kata ibu cantik itu, ia keluar dari mobil dan memayungi Irwan, lalu berjalan sejajar.
“Kamu masih baru ya jadi ojek payung?” tanyanya.
“Saya tidak tahu tentang ojek payung buk,” Jawab Irwan
“Berati kamu bukan Ojek payung dong.. kenapa hujan-hujan berdiri di depan mall? Ibumu tidak marah kah?” Ibu itu terlihat penasaran dan menghentikan langkahnya. Irwan juga berhenti.
“Ibuku sudah meninggal buk dua tahun lalu, rumahku baru saja kebakaran saat aku hendak masak. Aku cari uang untuk makan buk.” Jelas Irwan berbata-bata.
“Kamu masih sekolah?”
“Iya buk, saya sekolah di SDN 05 Bambu Raya, saat ini saya masih kelas V buk.. tapi saya mutusin untuk berhenti sampai saya bisa membeli peralatan dan seragam sekolah yang terbakar buk” Jelas Irwan jujur, bukan mengharap belas kasihan Ibu cantik itu. Penjelasan dirasa ibu itu sudah cukup, Ibu itu berjalan lagi sampai di teras Mall. Terlihat seorang anak kecil berseragam TK dan pengasuhnya keluar dari pintu mall.
“Itu anak saya.. namanya Lovina, namamu siapa dan kamu tinggal dimana?” tanya ibu itu lagi, sambil menunggu anaknya menghampiri.
“Nama saya Irwan buk, saya tinggal di kampung Mawar Rt 02 Rw 1, kampung sebrang sungai buk..” Jelas Irwan polos.
“Ya udah antar kami bertiga ke mobil lagi yaa” ucap Ibu cantik itu. menggendong Lovina dan menggandeng pengasuh Lovina.
Irwan membiarkan tubuhnya kehujanan. Sekarang dia paham tentang Ojek Payung. Orang yang bekerja menyewakan jasa payung kepada orang-orang yang membutuhkan saat hujan lebat. Setelah anak dan pengasuh masuk ke dalam mobil, ibu itu masih di luar. Lalu memberikan payung itu kepada Irwan dan masuk ke dalam mobil. Di balik kaca mobil, ibu itu mengeluarkan dompet tebalnya.
“Sini nak,” serunya. Irwan mendekat. Dia tahu kalau dirinya akan mendapat upah.
“Ini upah untuk nak Irwan, ini untuk makan nak Irwan, dan yang ini untuk membeli peralatan sekolah yaa, ibu sangat berterimakasih jasanya” Jelas sang Ibu sambil memberikan uang Rp 10.000, Rp 50.000 dan Rp 200.000. Irwan menerima dengan gemetar lalu bersujud di tengah hujan lebat, diciumnya paving penuh air. Lalu mengucapkan terimakasih dan pergi dengan senang. Pergi entah kemana. Pergi di balik lebatnya hujan.
“Mama.. tadi itu pengemis yaa?” tanya si kecil Lovina.
“Bukan Lovina sayang.. dia hanyalah anak hujan.. anak yang mendapat uang dari hujan, bukan dari Ibunya.. makanya Lovina sayang harus bersyukur selagi masih punya mama.. masih di kasih uang sama mama..” jelas ibu itu kepada anaknya.
“Apa anak Hujan itu tidak punya rumah, mama?”
“Punya sayang, tapi rumahnya kebakaran.. Lovina jangan suka mainan api yaa, kalau rumah Lovina kebakar, Lovina bisa saja jadi Anak Hujan” jawab sang Ibu
“ohh kasihan ya mama..” Ucapnya lagi
“Iya sayang, kita harus saling memberi kepada orang-orang yang membutuhkan. Anak hujan tadi adalah anak yang sabar dan tabah sehingga mama kasih dia hadiah. Kalau Lovina jadi anak yang sabar Lovina juga akan mendapat hadiah..”
“Hadiah dari mama..?”
“Dari Tuhan sayang..” Lovina memeluk Ibunya, mencium pipi ibunya seolah-olah takut kehilangan ibunya.
“Lovina tidak mau jadi anak hujan mama.. Lovina akan sayang sama mama selamanya, Lovina juga tidak mau mainan api, Lovina juga akan sabar ketika menunggu mama kerja, dan Lovina akan memberi orang lain pakai uang tabungan Lovina.. Lovina janji ma.. semoga anak hujan tadi juga mendapat hadiah dari Tuhan, bukan dari mama saja… Lovina sayang mama.. emuuuuahhh…” Lovina mencium ibunya lagi, ibunya bangga dengan penjelasan anaknya yang masih TK itu.
Hujan semakin lebat Ibu cantik itu memeluk anaknya dengan hangat, ia berencana ke rumah anak hujan itu bersama Lovina… Esok.
TAMAT
Cerpen Karangan: Rachma
Nama: Yulianingtyas Rahmawati
Sekolah: SMAN 1 GAMBIRAN
Jalan Sriwijaya No 11 Wringinagung Gambiran
Facebook: Julie Rahma & Yulian Rahma
Twitter: Yulian Rahma
E-mail: aqyultha[-at-]yahoo.com, ci_ca22[-at-]yahoo.com, yulianrahma9[-at-]yahoo.com

Sang Waktu


Kita telah berakhir kini semua tinggalah kenangan. coretan-coretan pena yang aku tuliskan cerita antara aku dan dia kini telah menjadi abu dan menghilang terbawa angin-angin nakal.
Saat ini penaku terus berbicara tentang hidupku, tak akan berhenti hingga akhir hayatku, merenungi sebuah kesalahan yang pernah aku lakukan. “maafkan aku, maafkan aku… aku meninggalkanmu dan meninggalkan cinta ini bukan salahmu tapi sang waktu telah merubah sikapmu sehingga aku pergi dari hidupmu dan cinta yang telah ku ukir di hati ini perlahan-lahan telah memudar dan kini aku akhiri untuk selamanya”
Dia hanya terdiam dengan mata yang berkaca-kaca dan memeluk erat tubuhku, bibirnya mulai mengeluarkan kata-kata. “aku masih sangat mencintaimu, berikan aku kesempatan yang kedua untuk merubahnya, apapun yang kamu inginkan dariku akan aku lakukan, asal kamu bisa seperti dulu”
Perlahan-lahan aku lepaskan pelukannya dan aku tak sanggup lagi untuk menahan air mata ini, aku menangis di hadapannya mungkin untuk yang terakhir dan aku genggam erat kedua tangannya “kini sang waktu telah hilangkan cintaku kini saatnya aku harus pergi, semoga perpisahan kita bukan untuk menjadi permusuhan, semoga kamu tetap menjadi sahabat terbaikku dimana aku dan kamu telah berbagi cerita.”
Ku balikan badanku tak tahan lagi air mataku terus terjatuh dan aku kembali pulang meninggalkannya.
Sinar mentari kamarku telah membangunkanku dengan mataku yang sembab, aku berbicara pada diriku sendiri bahwa aku harus bangkit untuk menyambut duniaku, aku harus bisa agar dunia mengenalku.
“mba iiaaaa…” lamunanku terpecahkan oleh adikku (mba iia itulah nama yang sering diucapkan pada keluargaku)
“kenapa sih?, berisik banget” jawabku dengan jutek dan tidak mengasyikan
“topi sekolah dede dimana? kan mba iia yang beresin?” (dede itu adalah windy adikku yang paling kecil)
“di tempat sampah kali, makanya kalo pake disimpan di comberan biar tambah bagus, hahahaa”
“mamaaa… mba iia nyebelin.”
Aku hanya tertawa sinis, “dasar anak manja,” ucapku
Duduk di jendela kamar sambil menatap langit pagi ini adalah hobbyku, pagi ini rumahku sepi hanya ada aku dan Ibuku. Ayah, Mas Ragil, Galih Dan Windy mereka sibuk kerja dan sekolah. Ayah dan mas Ragil sibuk untuk sekolah, mas Ragil adalah kakakku sekaligus anak pertama dalam keluarga ini, dia kakak terhebat yang berbeda di tanggung jawab untuk adik-adiknya. Galih adalah adikku dia duduk di kelas 3 SMA aku dan dia hanya berjarak 1 tahun saja, dan windy adalah adikku paling kecil dia duduk di kelas 1 SMP. ibuku hanya Ibu Rumah Tangga tapi pengawasannya terlalu khawatir berlebihan, sedangkan aku tya, aku baru lulus SMK KESEHATAN aku berbeda dengan yang lain, aku yang lemah, tapi aku ingin kuat hanya itu yang aku katakan dalam hati. tak terasa air mataku terjatuh lagi, menangisi semuanya yang telah hilang.
“kriiiing” … “kriiing” ponsel genggamku berbunyi 1 buah pesan dari sahabat SMPku Budi, ternyata dari sahabat SMPku Budi, ternyata undangan Reuni SMP minggu depan dan aku balas pesannya “oke, tya pasti datang!”
Aku berpikir sejenak apakah malam Reuni nanti aku akan bertemu dengan mantan-mantanku dulu? hehe :D seperti apa wajah-wajah teman SMPku sekarang?
Bagaimana perasaanku saat ketemu mereka? itu selalu ada pada pertanyaanku pikiran-pikiranku tentang dia hilang sejenak karena undangan reuni tadi dan itulah cara sang waktu memainkan waktunya.
Cerpen Karangan: Suharni Setia Budi Utami
Blog: Suharnisetia22.wordpress.com

Sabtu, 03 Januari 2015

Jangan Takut Gelap


Di persimpangan jalan sepulang sekolah, Icha mengingatkan, “Jangan lupa ya Dill, besok habis subuh kita caw”
“Okey, Insya Allah, Pasti.. Daaah.. hati-hati ya, kalo jatuh bangun sendiri.” balasku pada temanku yang gemuk dan berkaca mata tebal tapi super pinter.
Bangun pagi!! Huuuhhh… Aku masih ragu bisa nggak ya aku melakukannya.. Sekolah yang dekat tinggal lompat pagar, aku selalu telat. Shalat subuh selalu bergeser ke jam tujuh.. Ayahku punya trik membangunkanku dengan membunyikan lagu, tapi hanya kunikmati dalam mimpi. Ibuku yang seorang guru sering marah-marah karena ikutan terlambat ke sekolah. Nah sekarang sahabatku yang baik hati dan gemuk itu, memintaku bangun pagi-pagi.. Terbayang olehku teman-temanku ketika menjemput untuk lomba tari, aku belum mandi sementara teman-temanku sudah rapi siap manggung. Duuh malunya.. Aku harus Bisa….
Pukul 20.00 kuterima SMS dari Icha ke Hape Bundaku: dah bbo lom, jgn smp bangun kesiangan, ok.
Hadeuh.. aku pun harus mengakhiri hariku, aku harus beranjak ke kamar tidur.. bisa gak ya.. padahal aku biasanya baru tidur kalau sudah ngantuk berat.
Sambil pamitan ke Ibuku, aku memohon, “Bun, tolong bangunin aku menjelang subuh ya”
Ibu tersenyum, “Oke sayang.. o iya ibu dengar di radio tadi kalo tidur dalam keadaan gelap, bisa bikin gampang tidur..”
“Tapi aku kan takuut” aku potong informasi ibuku tapi sebenarnya aku penasaran kelanjutannya.. Bayangkan penonton, tidur tidak pake lampu, gelap gulita begitu.
Setelah memandangi aku, ibu memegang kedua bahuku, membimbingku ke kamar dan mendudukanku di kasur, ibu melanjutkan, “Jika lampu dimatikan saat tidur, ada hormon dalam tubuh kita yang baru bisa berproduksi. Yaitu hormon metatonin, yang berfungsi untuk meningkatkan kekebalan tubuh, dialah yang akan melindungi tubuh kita dari serangan Kanker.
“Dilindungi juga nggak aku dari serangan Monster?” aku makin penasaran dengan tausyiah bunda.
“Ya jelas pasti apalagi Dilla kan selalu berdoa sebelum tidur.. kamu ingat kan iklan pasta gigi, bila kekuatan ilmiah digabung dengan kekuatan tradisional menghasilkan kekuatan yang super dahsyat. O, ya. Rasulullah saw. juga bersabda bahwa kita disuruh mematikan lampu, menutup bejana-bejana di waktu malam. okey, sekarang kamu tidurlah, supaya besok bangun lebih pagi.”
“Tunggu bun, ini kan malam pertama aku tidur tanpa lampu, temanin dulu aku dan lampu dimatikan setelah aku tertidur, gimana?” aku mengajukan opsi.
“Gimana kalau dimatiin sekarang saja, Bunda temani kamu sambil menyanyikan lagunya Tasya, Jangan Takut Gelap..” katanya sambil memijat tombol lampu di dinding.
“Assyik..” aku bersorak.. Maklumlah. Bayangan Monster langsung melintas dan beterbangan. Bundaku sekonyong-konyong memberondongnya. Aku berusaha mengusirnya dengan konsentrasi pada syair lagu yang di dendangkan bunda, “Janganlah takut pada gelap, karena gelap melindungi kita dari…”
“Terima kasih Bunda.” kataku pada bunda yang sedang sibuk di dapur.. Bunda Kaget, “Oh, kamu sudah bangun, targetnya 10 menit lagi bunda bangunin.. Hebat, juga anak Bunda.”
“Ayah mengucapkan selamat dan terima kasih juga. karena jika keluarga kita bisa setiap tidur mematikan lampu, maka besar sekali penghematan energi yang kita lakukan.”
“Ayah mah, selalu dikaitkan dengan nilai ekonomi terus.”
“Ya ayah kan pahlawan ekonomi juga, buat keluarga..” bela Bunda, “tapi kita juga bisa menjadi pahlawan bagi saudara kita yang masih krisis energi listrik, dengan berhemat akan pemakaian listrik maka energinya bisa dialihkan kebelahan bumi Indonesia yang kekurangan tenaga listrik.” sambungnya lagi, “oke kamu bersiaplah untuk acaramu dengan Icha nanti, semoga sukses, ibu meneruskan menyiapkan bekalnya.”
“Baik, Bunda, Ayah.. Terima kasih Semuanya.”
Kusambut mulai pagi ini dengan mimpi yang pasti….
Cerpen Karangan: Ayok
Facebook: suparyo.ayok
untuk profilku yang lengkap dapat dilihat di google+ atau blog http://arenausaha.blogspot.com

Puisi Untuk Ibu


Senja pun pergi dengan meninggalkan bekas kenangan singkat di hati ini, seharusnya dia bertanggung jawab karena telah membuat gue menunggunya kembali lagi, padahal hal yang paling dibenci gue adalah menunggu, sama halnya ketika harus menunggu kesepiaan ini berakhir. Sudahlah, mungkin terlalu drama juga bila air mata ini harus ikut mengalir. dering ponsel pun berdering membuyarkan semua lamunan, ketika gue melirik nama pemanggil itu, hati ini seperti melihat berjuta pelangi yang indah bahkan, mengalahkan keindahan senja yang tadi gue lihat.

“hallo, Assalamu alaikum bu” ucap gue dengan perasaan yang luar biasa senangnya.
“wa’alaikum salam Dhita, gimana kabarmu nak betah gak di Jakarta?” balas Ibu dengan suaranya yang khas yaitu terdengar begitu lembut di telingga gue.
“kabar Dhita baik bu, ibu sendiri gimana? jangan terlalu cape ya bu, ntar sakit makan juga yang teratur” oceh gue, seakan tanda titik tak berguna sama sekali saat memberi pesan untuk Ibu.

Demi menepis rasa rindu di antara kami, beberapa menit bahkan jam pun kami habiskan dengan beribu cerita yang terungkap dari masing-masing pembicaraan.
“ya udah ta, jaga diri baik-baik disana, belajar yang bener, jangan lupa solat 5 waktunya, jangan suka jajan sembarangan, Ibu disini pasti berdoa yang terbaik buat kamu” pesan Ibu yang selalu terucap di akhir pembiacaraan
“iya Bu, Dhita akan selalu inget nasehat Ibu, Ibu harus jaga diri baik-baik juga disana, Dhita akan berusaha buat keluarga bangga sama Dhita, ya udah bu Assalamu alaikum” ucap dhita
“Walaikum salam nak” jawab Ibu. Kami pun masing-masing mengakhiri sambungan ini, rasa sedih pun datang begitu saja, maklumlah gue hanya bisa bertatap muka dengan keluarga hanya satu tahun sekali, yaitu waktu liburan Ramadhan, selebihnya kami hanya bisa lewat telpon, semua ini terasa seperti benteng besar yang memisahkan antara gue, dan Ibu.
“Dhit, siapa yang tadi telpon?” tanya perempuan gemuk yang sosoknya buat gue kaget
“Ibu Tan, nanyain kabar aku” singkatku
“ohh ya udah tidur sana, biar besok bisa bangun pagi” perintah nya sembari melangkah keluar.
Fikiran gue masih tetep sama satu arah, yaitu Ibu. Gue berharap malam ini bisa meluk beliau dan tidur dalam dekapan hangat tubuhnya itu.
waktu menujukan pukul 6 pagi, seperti biasa gue berangkat ke sekolah dengan mengendarai angkutan umum, gue emang sengaja berangkat pagi agar gak kesiangan seperti kemarin, soalnya lewat dari jam 6 pagi, jalanan sudah buanyak sekali pengendara-pengendara yang berlalu lelang, dan karena hari ini hari kamis gue memang gak boleh telat (soalnya yang piket super duper killer… hhhiii) setelah pertengahan jalan mobil pun berhenti karena ada salah seorang perempuan berjilbab yang memberi isyarat untuk berhenti, upss tunggu dulu sepertinya gue mengenali sosok itu.
“Assalamu alaikum Ibu Erma” salam pun terucap sambil mencium tangan kananya yang begitu hangat, entah kenapa jika berada di dekat dia, gue ngerasa seperti dekat dengan Ibu, dia adalah perempuan yang sangat baik, perhatiaan, dan paling mengerti sama mood gue yang kadang gak nentu.
“Walaikum salam Dhita, apa kabarnya?” ucap wanita itu, tidak lain dia adalah Guru SMP gue yang paling menyenangkan. Beberapa pembicaraan pun kami ungkap, dari mulai ini dan itu.
“Ya udah ta, Ibu duluan ya jangan lupa belajarnya lebih rajin lagi, supaya nanti bisa buat bangga keluarga, terutama Ibu kamu” nasehat Bu Erna. Dari sekian guru yang ada di SMP dulu, hanya beliau yang tak pernah bosan dengan curahan dan keluhan gue, dia pun selalu memberikan motivasi yang membuat gue bangkit dari kepurukan.
Bel sekolah pun memberikan bunyi indah pada seluruh siswa-siswa SMAN 45, seluruh siswa pun bergegas dengan semangatnya dan keluar kelas.
“Mit loe mau kemana, Kok gak mau bareng gue sih?” tanya gue penasaran dengan tingkah temen yang satu ini
“gue mau nyari kado buat Ibu gue, dua hari lagi kan hari Ibu, ya meski gak sebanding sama jasa dia setidaknya gue bisa buat dia tersenyum, udah ya Ta gue duluan takutnya kesorean” ucapnya sambil bergegas. Yah gue sampai lupa kalau dua hari lagi hari Ibu, apa yang mesti gue lakuin buat Ibu gue ya, Mita mah enak deket sama Ibu nya sedangkan gue, ketemunya Cuma lewat telpon. Tapi bukan berarti gue gak bisa ngapa-ngapain, gue harus berfikir kado apa yang cocok buat Ibu gue tercinta. Sepanjang malam gue mikirin apa yang harus gue kasih ke Ibu, setelah sekian jam gue berfikir akhirnya gue nemu ide yang cemerlang.
“gue bikin puisi aja buat Ibu, trus gue bacain di telpon deh pasti Ibu seneng, berarti sekarang gue harus buat puisinya” ucap gue sendiri sambil memulai lembaran kosong dan siap menulis puisi. Sebisa mungkin kata-kata indah pun tertuai dalam tiap bait gue persembahkan buat Ibu.
Waktu menunjukan pukul 9 malam, puisi pun selesai dibuat semoga Ibu akan seneng dengan puisi buatan gue ini.
Hari Ibu pun Tiba,
Setelah gue mau telpon, ternyata pulsa nya abis plus gak ada uang buat beli pulsa akhirnya gue congkel celengan kaleng yang ada di lemari sebanyak 6 ribu, dan langkah kaki pun bergegas nuju konter terdekat. Setelah beli pulsa gue pun pulang, tapi setelah lewat rumah besar itu, datanglah dua anjing besar yang sepertinya mulai berlarin ke arah gue, dan gue pun berlari sekencang-kencangnya tapi akhirnya gue selamat. jari pun menuju inbox dan mencari nomor Ibu dan mulai memanggil.
“Assalamu alaikum Ibu” salam gue dengan nafas yang masih belum normal.
“walaikum salam Ta, ada apa? Kok nafasnya ngos-ngosan gitu, mang abis dari mana?” tanya Ibu
“tadi dari konter pulsa Bu, tapi dikejar anjing makanya lari-lari an dah tadi” jawab gue
“hhaa… kok bisa loh nak, kamu ledekin ya anjingnya makanya dia ngejar kamu” jawab Ibu sambil gak mampu nahan tawanya.
“Ibu Dhita punya sesuatu buat Ibu, mungkin gak berbau materi tapi semoga Ibu seneng ya, Ibu dengerin ya ini” perintahku sambil memulai bait demi bait dengan penghayatan penuh. Tanpa terasa air mata gue pun perlahan mengiringi setiap bait yang terucap.
Ibu,
Disaat dunia mengabaikan aku, belamu selalu hadir
Disaat sepi itu datang, kau pun selalu ciptakan kehangatan
Ibu,
Dirmiu layaknya Bintang malam yang selalu bersinar
Dirimu seperti pelangi di senja yang indah
Ibu,
Aku bukan pujangga yang mahir akan kata-kata buain
Aku hanya anakmu yang menuai syair dengan penuh ketulusan
Ibu,
Ajarkan aku menjadi wanita luar biasa sepertimu
Ajarkan aku bagaimana menempuh tajamnya kehidupan
Ibu,
Disaat takdirNya memisahkan kebersamaan kau dan aku
Disaat kita tak dapat lagi saling memeluk
Izinkanlah aku,
Memberikan kisah terindah di lembaran-lembaran hidupmu
“makasih sayang buat puisi indah kamu, Ibu bangga banget punya anak seperti kamu” ucap Ibu yang disertai isakan tangis.
“sama-sama Ibu, mungkin semua gak akan membalas semua jasa yang kau berikan pada Dhita” jawabku. Gue seneng bisa buat Ibu bahagia, meski yang gue lakuin ini gak seberapa dengan pengorbananya. Gue sayang banget sama Ibu semoga suatu hari Tuhan mengizinkan gue untuk mengantarkanya ke tempat kebahagian itu berada.
End…
Cerpen Karangan: Santika
Facebook: santikawatiwati

Rantai Persahabatan


Waktu berlalu sangat cepat. Tinggal beberapa bulan lagi, aku akan lulus dari sekolahku ini. Oh ya, perkenalkan namaku Shania Junianatha. Teman-temanku memanggilku Shania. Aku duduk di kelas 9C SMP Negeri 1 Salatiga. Baru kali ini aku tidak sekelas dengan ketiga sahabatku, yaitu Beby Chaesara biasa dipanggil Beby, kelas 9G, Jessica Veranda biasa dipanggil Vera, kelas 9G juga, dan Cindy Yuvia biasa dipanggil Cindvia, kelas 9D. Aku sedih sekali tidak satu kelas dengan mereka. Walaupun begitu, persahabatan kami tidak boleh putus. Kami biasa berkumpul saat istirahat dan pulang sekolah. Dengan begitu, persahabatan kami pun tetap berjalan.

“KRING KRING KRING!!!” terdengar bunyi alarm, yang menandakan aku harus bangun dari tidurku. Hari ini aku tidak bisa bangun siang, karena hari ini aku sudah kembali masuk sekolah. Hari Senin tanggal 6 Januari 2014, hari pertama di semester 2. Aku segera beranjak dari kasurku yang empuk. Setelah itu, aku mengambil handuk dan segera menuju ke kamar mandi. Selesai mandi, aku memakai seragam OSISku. Lalu, aku merapikan rambut dan menuju ke ruang makan untuk sarapan. Di ruang makan sudah terlihat mamaku yang sedang menyiapkan sarapan, papaku yang sedang membenahi dasi dan kedua adikku yang sibuk membicarakan idola mereka masing masing. “Selamat pagi semua…” sapaku dengan senyuman. “Selamat pagi Kak.. Kak Shania tahu JKT48 kan? Hari ini mereka konser loh kak.” kata adikku yang bernama Kevin. “Iya tahu. Ih pagi-pagi udah ngomongin JKT48” ejekku ke adikku yang duduk di kelas 4 SD ini. “Kak, nanti tolong anterin aku ke toko buku ya, Kak. Aku mau beli buku asli nya 1D.” oceh adikku yang duduk di kelas 6 SD, Thalia. “Iya, Thalia cantik. Kakak nanti anterin kamu. Ini juga pagi-pagi udah ngomongin 1D. Mendingan beli buku “Detik-Detik menjelang UN” Kamu kan udah mau UN juga kayak kakak.” ucapku. Mereka berdua langsung tertawa bersama.

Setelah selesai sarapan, aku, kedua adikku, dan papaku berangkat naik mobil. Kedua adikku diantar duluan. Setelah itu baru mengantarku. “Shania sekolah dulu ya, Pa.” pamitku ke papaku sambil mencium tangannya. “Iya, Kak. Sekolah yang baik ya. Ingat, udah semester 2. Sebentar lagi udah mau UN. Semangat belajarnya ditambah.” kata papa menasihatiku. “Siap, Pa” kataku sambil mengacungkan jempol. Aku keluar dari mobil dan berjalan menuju kelasku, kelas 9C. Setelah meletakkan tas, aku mengambil topi upacara dan bergegas menemui ketiga sahabatku, Beby, Vera, dan Cindvia. Saat di kelas 9D, aku meminta izin masuk ke kelas itu. Setelah diizinkan masuk, aku langsung menuju ke tempat duduk Cindvia. “Hai, Cindvia.. Kamu tumben nggak dikucir dua?” tanyaku kepada Cindvia. “Halo, Shan. Iya. Nggak apa-apalah. Semester baru, penampilan juga baru dong. Hahaha” kata Cindvia sambil tertawa. “Hahaha.. Tapi tetep cantik kok, Cind. Eh, ayo kita nyamperin Beby sama Vera!” ajakku. “Ayo!” jawab Cindvia bersemangat.

Kami berdua berjalan ke kelas Beby dan Vera, kelas 9G. Sesampainya di kelas 9G, Cindvia langsung memanggil Beby dan Vera. “Beby! Vera!” panggil Cindvia. “Iyaa, sebentar Cind.” Kata Vera dari dalam kelas. Tak lama kemudian, Vera keluar dari kelasnya. “Loh, Ver. Beby mana?” tanyaku. “Biasa, Shan. Masa nggak tahu?” kata Vera. “Ohh, iya aku tahu kok, Ver. Pasti belum dateng ya?” tebakku. “Hahaha, tahu aja sih kamu” jawab Vera sambil tertawa. “Hai kalian bertiga. Kok udah pada dateng sih?” tanya Beby tiba-tiba. “Yah, Beb. Kamu aja yang datengnya siang!” kata Cindvia. “Iya, Beby. Lagian ini udah jam 7 kurang 10, Beb.” kataku. “Huuu, calon ketua kelas apa itu? Datengnya aja jam 7 kurang 10” kata Vera mengejek. “Ih, Vera.” kata Beby. Beby segera masuk ke kelasnya untuk meletakkkan tasnya, dan mengambil topi upacara. “Ayo ke lapangan upacara!” ajak Beby sambil memakai topinya. “LETS GO!” ucapku, Vera, dan Cindvia bersamaaan.

Saat di lapangan upacara, kami harus berpisah. Beberapa menit kemudian, upacara pun dimulai. Setelah upacara itu selesai, barisan pun dibubarkan dan kami kembali ke kelas masing-masing. Seperti biasa, untuk kembali ke kelas, aku berjalan bersama ketiga sahabatku. Di depan kelas 9C, aku melambaikan tangan pada ketiga sahabatku. Itu tandanya, kami harus berpisah untuk sementara, dan akan bertemu nanti saat istirahat atau pulang sekolah. Karena hari ini adalah hari pertama di semester 2, jadi hari ini kami belum ada pelajaran. Kegiatan hari ini hanya pemilihan pengurus kelas baru, membersihkan kelas, dan mengumpulkan dana untuk program “Peduli Pendidikan.”

Bel sekolah berbunyi tiga kali. Waktunya murid SMP Negeri 1 Salatiga untuk pulang ke rumah masing masing. Wah, ternyata hari ini pulang lebih awal. Setelah berdoa dan mengucapkan salam pada guru, aku langsung keluar kelas dan melakukan kegiatan rutinku. Ya. Menemui ketiga sahabatku. Setelah kami bertemu, kami pun pulang bersama.
Keesokan harinya, Beby tidak masuk sekolah. Entah dengan alasan apa dia tidak masuk sekolah. Dia pun tidak memberitahu kami bertiga. “Ver, kamu tahu alasan Beby nggak masuk sekolah?” tanya Cindvia saat istirahat pertama. “Nggak tahu, Cind. Nggak ada suratnya.” jawab Vera. “Dia juga nggak ngasih kabar ke aku.” kataku dengan lesu. Saat pulang sekolah, aku mengambil telepon genggamku. Terlihat ada satu pesan singkat entah dari siapa. Aku langsung membaca pesan singkat itu. Ternyata, pesan itu dari Beby! Pesan itu isinya: “Shan, maaf hari ini aku nggak masuk sekolah. Soalnya… Maafin aku, Shan. Hari ini papaku dipindah kerjanya jadi di Jakarta. Jadi aku harus pindah ke Jakarta! Maafin aku, nggak ngasih tahu kamu dari kemarin-kemarin. Papa mamaku juga ngasih tahu nya mendadak. Maaf ya, Shan. Semoga kamu maafin aku dan persahabatan kita tetap berjalan ^_^ ~Beby Chaesara~” Setelah aku membaca pesan itu dari Beby, air mataku sudah mengalir ke pipi. “Beby! Kamu jahat! Kamu jahat, jahat, jahat!” kataku dalam hati. Aku segera memberitahukan hal ini kepada Vera dan Cindvia. Ya, ternyata mereka juga dapat kabar yang sama dari Beby.

Keesokan harinya saat sekolah, kami kembali berkumpul, tentunya tanpa Beby. “Hey, Shania. Gimana kemarin perasaanmu waktu dapet SMS dari Beby, soal pindahannya?” tanya Vera tiba tiba. “Yah, gitu deh, Ver. Beby jahat banget sama kita! Dia nggak ngasih tahu kita dari awal, kalau dia mau pindah ke Jakarta.” kataku ketus. “Iya, Shan. Aku setuju sama kamu! Ternyata, seorang Beby Chaesara kayak gitu!” kata Cindvia menimpali perkataanku. “Hus, kalian nggak boleh gitu sama si Beby. Yang penting kan dia udah ngasih kabar ke kita. Daripada nggak sama sekali.” kata Vera menasihatiku dan Cindvia. “Ah, sekali jahat tetap jahat!” kataku sambil berjalan menuju ke kelasku. Vera yang melihatku hanya menggelengkan kepalanya.

Saat pulang sekolah, aku ditemani dengan langit biru yang bertaburan dengan kapas putih yang indah, bagiku itu adalah langit gelap dengan kapas hitam yang sangat tidak enak di hati. Kepergian Beby ke Jakarta memang membuatku jengkel, marah, sedih tercampur aduk bagaikan adonan roti yang siap dimasukkan ke oven. Sesampainya di rumah, aku langsung mengganti pakaianku. Di ruang keluarga, terdapat piano yang dibelikan oleh papaku. Aku langsung menuju ke piano tersebut dan langsung memainkan piano itu. Aku memainkan piano itu sambil menyanyikan lagu JKT48 yang berjudul “Pembatas Buku Sakura” yang dimana lagu itu menceritakan tentang seseorang yang berpisah dengan sahabatnya. Lagu itu pas sekali dengan perasaanku hari ini. Tak terasa, lagu itu sudah ku mainkan dua kali. Aku menuju ke kamarku dan melihat beberapa album foto. Album foto itu berisikan foto fotoku dengan ketiga sahabatku. Tak berapa lama kemudian, aku menutup album foto itu. “Beby, kamu jahat banget sama kita! Kamu ninggalin persahabatan kita, Beb!” kataku pelan.

Hari demi hari berlalu. Minggu demi minggu berlalu. Ku jalani hari-hariku tanpa satu sahabatku, Beby. “Beb, aku belum bisa maafin kamu…” kataku dalam hati sambil berjalan menuju sekolah. “Shania! Shania!” seseorang berteriak memanggil namaku. Aku langsung menengok ke belakang. Tak kusangka! Beby lah yang memanggilku. “Beb.. Be.. Be.. Beby?!” ucapku terbata-bata. “Iya Shan, hari ini papaku libur. Jadi aku main ke Salatiga.” ucap Beby tersenyum. Aku menarik napasku. “Beb! Kamu jahat banget sama kita! Kamu ninggalin kita dengan kabar yang mendadak! Kamu jahat, Beb. Jahat!” kataku berteriak sambil berlari meninggalkan Beby. “Shan…” kata Beby terdiam di tempat. “Beb, maafin aku. Aku belum bisa maafin kamu” ucapku dalam isak tangisku sambil berlari. Sesampainya di sekolah, aku masih mengingat kejadian tadi pagi. Aku menceritakan hal ini kepada Vera dan Cindvia. “Iya, Shan. Memang dia hari ini ke Salatiga” kata Vera memberitahuku. “Beby ngapain ke Salatiga? Dia udah jahat sama kita kok. Nggak usah dimaafin!” kata Cindvia. “Ya ampun, Cind. Kita nggak boleh gitu sama sahabat sendiri. Lagian juga dia udah jauh jauh dari Jakarta, Cuma buat nemuin kita kok. Dia masih sayang sama kita, dia masih mau persahabatan ini berjalan.” kata Vera dengan bijak. Cindvia hanya tertunduk. Bel masuk pun berbunyi. Sepanjang pelajaran hari ini, aku tidak bisa berkonsentrasi. Aku terus menerus memikirkan kejadian tadi pagi.

Setelah semua pelajaran selesai, aku dan Cindvia diajak ke taman kota oleh Vera. Kami pun melangkah menuju taman kota. Akhirnya, kami pun sampai di taman kota. “Beby!” teriak Vera memanggil Beby. Aku dan Cindvia tersentak kaget. “Haaa?! Beby? Vera, jadi kamu ngajak kita kesini untuk ketemu sama Beby?” tanyaku dengan nada sedikit marah. “Tahu gitu, tadi aku langsung pulang aja! Buang-buang waktu, Ver!” ucap Cindvia. Beby melangkah mendekati kami dengan wajah tertunduk. “Shan, Cind. Kalian dengerin penjelasan Beby dulu. Shania Junianatha dan Cindy Yuvia yang aku kenal, nggak kayak gini sikapnya!” ucap Vera untuk membela Beby. “Untuk apa dengerin penjelasan si pengkhianat?” tanyaku ketus. “Udahlah, aku mau pulang saja!” teriakku sambil meninggalkan Vera, Beby, dan Cindvia. “Aku juga! Aku ada urusan yang lebih penting!” teriak Cindvia. Tiba-tiba, Beby berlari ke arahku dan Cindvia. Dia menarik tangan kami. “Shan! Cind! Please, dengerin penjelasanku dulu.” kata Beby dengan mata nya yang sudah berkaca-kaca. “Beb, untuk apa? Semua udah jelas! Kamu ninggalin persahabatan ini! Aku tahu kamu ikut papamu pindah ke Jakarta. Tapi kalau kamu ngasih kabarnya nggak mendadak, aku nggak akan kecewa dan marah sama kamu, Beb.” kata Cindvia panjang lebar. “Cind, aku nggak bermaksud ninggalin persahabatan kita ini. Lagipula kita masih bisa berkomunikasi.” ucap Beby dengan air matanya yang sudah terlinang. “Hey! Kita ini sahabat, jangan berantem terus. Memang, kadang kala persahabatan itu ada masalahnya. Tapi masalah itu jangan terlalu banyak! Kayak makanan. Makanan itu rasanya hambar kalau nggak ada bumbunya. Tapi kalau bumbunya terlalu banyak, rasanya juga bakal nggak enak! Ya, kan?” ucap Vera tiba-tiba. Dia berhenti sebentar. “Coba kalau kalian ada di posisi Beby, kalian juga akan ngelakuin hal yang sama kayak Beby, kan? Aku ngajak kalian ke sini itu, biar kalian sadar kalau kalian itu salah paham soal Beby! Aku nggak mau persahabatan kita putus gara-gara hal ini.” kata Vera melanjutkan perkataannya. Ya. Jika aku ada di posisi Beby, aku juga melakukan hal yang sama. Aku berlari menuju Beby yang masih mengalirkan air matanya. Aku langsung memeluknya dan meminta maaf padanya. “Beb! Maafin aku. Aku salah paham soal kamu, Beb! Maafin aku tadi pagi marah ke kamu. Maaf, Beb!” kataku dalam posisi masih memeluk Beby. “Iya, Shan. Nggak apa-apa. Lagipula aku yang salah kok, bukan kamu. Aku ngasih kabar ke kamu mendadak banget. Jadi, kamu marah deh sama aku. Maafin aku juga ya, Shan.” kata Beby dengan tangisannya. “Beby!! Maafin aku juga ya, Beb.” kata Cindvia sambil berlari dan memeluk kami. “Iya, Cind. Maafin aku juga ya, Cind.” kata Beby. Vera yang melihat itu pun, langsung memeluk kami. “Vera, makasih ya buat semuanya. Maafin aku ya, Ver” ucap Beby kepada Vera. “Sama-sama, Beby. Udah, lupakan aja masalah itu. Yang penting, sekarang persahabatan kita udah nyambung lagi.” kata Vera tersenyum.

Akhirnya, persahabatanku, Beby, Vera, dan Cindvia tersambung kembali. Berkat ucapan Vera yang menyadarkanku dan Cindvia, untuk bisa memaafkan Beby. Sekarang aku tahu arti persahabatan yang sesungguhnya. Terkadang dilanda masalah, tetapi cepat atau lambat, masalah itu akan hilang seperti kabut di pagi yang dingin. Persahabatan kami akan seperti rantai, yang selalu tersambung satu sama lain dan tidak akan pernah putus!

TAMAT

Cerpen Karangan: Giovana Brigida Christabelle
Facebook: Giovana Christa
Hai!! Namaku Giovana Brigida Christabelle, biasa dipanggil Christa. Aku lahir tanggal 27 Agustus 2001, jadi tau kan umurku berapa? Cerpen “Rantai Persahabatan” itu cerpen pertamaku loh! Maaf kalau ada kekurangan :) Aku kelas 7C di SMP Negeri 1 Salatiga (Jawa Tengah). Aku suka banget sama yang namanya ‘ANIME’ dan ’48 Family’ x3
Twitter: @GiovanaChrista_
Facebook: Giovana Christa
Terima kasih sudah membaca cerpenku! ^^